Pengarang Belum Mati
Oleh Asep Gunawan
The death of author. Begitulah sabda Roland Barthes perihal eksistensi pengarang.
Ketika teks terlahir, hal itu sekaligus berbarengan dengan
‘kematian’ sang pengarang. Setelah itu, dengan sendirinya, teks akan senantiasa
hidup tanpa campur -tangan sang pengarangnya lagi. Dan kemudian eksistensi teks
itu akan sangat ditentukan oleh para pembacanya. Otoritas pemaknaan tentu saja
tidak akan lagi melibatkan sang
pengarang, tapi sudah seutuhnya milik pembaca. Pembaca tidak lagi harus
melibatkan keadaan psikologis, sosiologis dan konteks yang bersangkutan dengan
pengarangnya. Penafsiran menjadi murni seutuhnya berpusat pada keadaan teks
yang otonom. Dari titik berangkat itulah maka sang pengarang dianggap telah
mati.
Namun
tentu saja sebuah teks tidak sekonyong-konyong lahir dari ruang kosong. Teks
terlahir dari hasil kerja kreatif pengarang dalam upaya memotret realitas yang
tejadi di sekitar kehidupannya. Teks terlahir dari rahim kreatifitas dengan
benih realitas sosio-kulural yang berpadu dengan imajinasi pengarangnya. Dengan begitu mau tidak mau kelahiran suatu
teks tidak bisa serta merta dilepaskan begitu saja dari eksistensi kehidupan
sang pengarang yang melatar-belakanginya.
Memang
benar ketika teks terlahir, dia harus dianggap berstatus yatim-piatu. Tapi
tentu saja jika pemaknaannya hanya berkisar pada pemaknaan tekstual saja. Untuk
memperdalam pemaknaan yang komprehensif, paling tidak hal itu akan sangat
terbantu dengan melacak bagaimana rekam-rekam pengarang, yakni melalui
biografinya. Hal ini dikarenakan dalam sebuah tulisan tentu saja mengandung
tendensi pengarangnya, seperti ideology, kritik, cita-cita dan penyikapan
lainnya terhadap realitas. Elemen-elemen itulah yang menunjang penafsiran
kompleks yang disebut dengan penafsiran kontekstual.
Dalam
buku ini paling tidak itulah yang coba diungkapkan oleh Maman S Mahayana. Sesuai
dengan judulnya, bahwa pengarang memang tidaklah mati, maka eksistensi
pengarang berpengaruh besar dalam proses penafsiran pembaca terhadap sebuah
teks. Pembaca sebenarnya diajak untuk berfikir kritis ketika dihadapkan pada
sebuah teks. Karena dalam sebuah teks tentu saja ada sebuah maksud atau
ideology pengarangnya yang ingin disampaikan pada sidang pembaca. Jadi, usaha
‘menghidupkan’ kembali pengarang akan dapat melengkapi pemahaman kita perihal
berbagai aspek yang berada di luar teks (hal: 18)
Sastra Indonesia dan Pengarangnya
Sebagai juru bicara, pengarang
sejak awal telah mempunyai niat dan ideology tertentu. Teks (karya sastra)
dianggap sebagai alat, yang pada gilirannya dapat difungsikan sebagai sarana
untuk menyampaikan maksud-maksudnya. Paradigma seperti ini memang sudah nampak
pada masa ketika sastra Indonesia mulai mencuat ke permukaan, dengan Sumpah
Pemuda sebagai pertanda awalnya. Pada awalnya, riwayat perjalanan sastra
Indonesia penuh dengan manipulasi, perekayasaan dan penyesatan. Kekuasaan
Belanda begitu kuat memengaruhi arah perjalanan kesusastraan Indonesia. Salah satunya,
yang paling terlihat adalah dengan terbentuknya penerbitan bernama Balai
Pustaka. Penerbit inilah yang menjadi ukuran gengsi sastra Indonesia modern
(hal: 189).
Pada masa awal, tradisi kesusastraan Indonesia
bisa dibilang merupakan tradisi elitis. Orang-orang yang menggeluti dunia
literasi hanya pada tingkatan masyarakat berstatus menengah ke atas.
Kecenderungan tradisi kesusastraan yang eksklusif ini memang menjadi semacam
masalah baru bagi orang-orang menengah ke bawah yang ingin mendapatkan bahan bacaan.
Maka Balai Pustaka sebagai barometer buku-buku bacaan elit, mendapat tantangan
baru dengan bermunculannya penerbit-penerbit underground yang menerbitkan bahan bacaan masal dan merakyat.
Mahalnya
buku-buku yang diterbitkan oleh penerbit mapan, membuat sejumlah penerbit non
mapan ini bisa memanfaatkan keadaan itu dengan menerbitkan buku-buku hiburan
dan menjualnya dengan harga murah. Buku-buku seperti itulah yang kemudian
disebut dengan roman picisan (stuiversroman). Satu istilah yang dilontarkan
Roolvink untuk menyebut buku-buku roman yang dijual murah, dengan menunjuk pada
nilai uang terendah: picis, dan sekaligus juga memberikan kesan
melecehkan.
Kebanyakan
para pengarang yang menulis untuk penerbit non mapan itu, hanya mengandalkan
bakat alamiah. Yang mana biasanya tidak memasukan unsur intelektualitas dalam
karya yang dibuatnya. Sehingga karya-karya yang terlahir dari tangan pengarang
itu akan cenderung mendapat stigma yang kurang baik dan tidak mendapat
apresiasi positif, khususnya dari para intelektual.
Sebagai
salah satu bagian dari sastra dunia, kondisi sastra Indonesia pun sama
mengalami benturan antara para pengarang dan pemerintah. Kebebasan pengarang
dalam mengekspresikan perasaannya kadang mendapat halang-rintang dari
pemerintah, apalagi jika karyanya dianggap berlawanan dengan norma sosial atau
ideologi politik penguasa. Oleh karena itu, citra pengarang Indonesia terutama
pada masa Orde Baru dianggap kurang baik dan terkesan dilecehkan. Kerja kreatif
pengarang tak mendapat tempat khusus di mata masyarakat dan pemerintah. Tidak
seperti profesi lain, hasil kerja para pengarang dianggap tak berpengaruh banyak
pada kehidupan praktis.
Sebagai
pekerja kreatif, seorang pengarang dituntut untuk cerdas menyampaikan dua unsur
utama karya sastra dengan padu, yakni unsur menghibur dan mendidik (dulce et
utile) jika meminjam istilah Horatius. Dalam memotret realitas yang kemudian
tertuang dalam karyanya, maka konteks kehidupan pengarang pun begitu dominan
dalam membidani terlahirnya karya sastra. Terlepas dari pemaknaan pembaca yang
nantinya akan sangat beragam, namun sepertinya para pengarang akan selalu
konsisten dengan tugasnya sebagai
pekerja yang menyuarakan keadaan zamannya.
Penulis, bergiat di Komunitas Sasaka dan Forum
Alternatif Sastra (FAS) Bandung
Agen Judi Bola
BalasHapusAgen Judi Online
Agen Judi
Agen Bola
Agen Sbobet
Agen Bola Ibcbet
Agen Casino Online
Agen Terpercaya
Agen Judi Terpercaya
Agen Judi Terbaik