Selasa, 30 Oktober 2012

Resensi Buku



Pengarang Belum Mati
Oleh Asep Gunawan

The death of author. Begitulah sabda Roland Barthes perihal eksistensi pengarang. Ketika  teks  terlahir, hal itu sekaligus berbarengan dengan ‘kematian’ sang pengarang. Setelah itu, dengan sendirinya, teks akan senantiasa hidup tanpa campur -tangan sang pengarangnya lagi. Dan kemudian eksistensi teks itu akan sangat ditentukan oleh para pembacanya. Otoritas pemaknaan tentu saja tidak akan  lagi melibatkan sang pengarang, tapi sudah seutuhnya milik pembaca. Pembaca tidak lagi harus melibatkan keadaan psikologis, sosiologis dan konteks yang bersangkutan dengan pengarangnya. Penafsiran menjadi murni seutuhnya berpusat pada keadaan teks yang otonom. Dari titik berangkat itulah maka sang pengarang dianggap telah mati.
            Namun tentu saja sebuah teks tidak sekonyong-konyong lahir dari ruang kosong. Teks terlahir dari hasil kerja kreatif pengarang dalam upaya memotret realitas yang tejadi di sekitar kehidupannya. Teks terlahir dari rahim kreatifitas dengan benih realitas sosio-kulural yang berpadu dengan imajinasi pengarangnya.  Dengan begitu mau tidak mau kelahiran suatu teks tidak bisa serta merta dilepaskan begitu saja dari eksistensi kehidupan sang pengarang yang melatar-belakanginya.
            Memang benar ketika teks terlahir, dia harus dianggap berstatus yatim-piatu. Tapi tentu saja jika pemaknaannya hanya berkisar pada pemaknaan tekstual saja. Untuk memperdalam pemaknaan yang komprehensif, paling tidak hal itu akan sangat terbantu dengan melacak bagaimana rekam-rekam pengarang, yakni melalui biografinya. Hal ini dikarenakan dalam sebuah tulisan tentu saja mengandung tendensi pengarangnya, seperti ideology, kritik, cita-cita dan penyikapan lainnya terhadap realitas. Elemen-elemen itulah yang menunjang penafsiran kompleks yang disebut dengan penafsiran kontekstual.
            Dalam buku ini paling tidak itulah yang coba diungkapkan oleh Maman S Mahayana. Sesuai dengan judulnya, bahwa pengarang memang tidaklah mati, maka eksistensi pengarang berpengaruh besar dalam proses penafsiran pembaca terhadap sebuah teks. Pembaca sebenarnya diajak untuk berfikir kritis ketika dihadapkan pada sebuah teks. Karena dalam sebuah teks tentu saja ada sebuah maksud atau ideology pengarangnya yang ingin disampaikan pada sidang pembaca. Jadi, usaha ‘menghidupkan’ kembali pengarang akan dapat melengkapi pemahaman kita perihal berbagai aspek yang berada di luar teks (hal: 18)
Sastra Indonesia dan Pengarangnya
Sebagai juru bicara, pengarang sejak awal telah mempunyai niat dan ideology tertentu. Teks (karya sastra) dianggap sebagai alat, yang pada gilirannya dapat difungsikan sebagai sarana untuk menyampaikan maksud-maksudnya. Paradigma seperti ini memang sudah nampak pada masa ketika sastra Indonesia mulai mencuat ke permukaan, dengan Sumpah Pemuda sebagai pertanda awalnya. Pada awalnya, riwayat perjalanan sastra Indonesia penuh dengan manipulasi, perekayasaan dan penyesatan. Kekuasaan Belanda begitu kuat memengaruhi arah perjalanan kesusastraan Indonesia. Salah satunya, yang paling terlihat adalah dengan terbentuknya penerbitan bernama Balai Pustaka. Penerbit inilah yang menjadi ukuran gengsi sastra Indonesia modern (hal: 189).
             Pada masa awal, tradisi kesusastraan Indonesia bisa dibilang merupakan tradisi elitis. Orang-orang yang menggeluti dunia literasi hanya pada tingkatan masyarakat berstatus menengah ke atas. Kecenderungan tradisi kesusastraan yang eksklusif ini memang menjadi semacam masalah baru bagi orang-orang menengah ke bawah yang ingin mendapatkan bahan bacaan. Maka Balai Pustaka sebagai barometer buku-buku bacaan elit, mendapat tantangan baru dengan bermunculannya penerbit-penerbit underground yang menerbitkan bahan bacaan masal dan merakyat.
            Mahalnya buku-buku yang diterbitkan oleh penerbit mapan, membuat sejumlah penerbit non mapan ini bisa memanfaatkan keadaan itu dengan menerbitkan buku-buku hiburan dan menjualnya dengan harga murah. Buku-buku seperti itulah yang kemudian disebut dengan roman picisan (stuiversroman). Satu istilah yang dilontarkan Roolvink untuk menyebut buku-buku roman yang dijual murah, dengan menunjuk pada nilai uang terendah: picis,  dan sekaligus juga memberikan kesan melecehkan.
            Kebanyakan para pengarang yang menulis untuk penerbit non mapan itu, hanya mengandalkan bakat alamiah. Yang mana biasanya tidak memasukan unsur intelektualitas dalam karya yang dibuatnya. Sehingga karya-karya yang terlahir dari tangan pengarang itu akan cenderung mendapat stigma yang kurang baik dan tidak mendapat apresiasi positif, khususnya dari para intelektual.
            Sebagai salah satu bagian dari sastra dunia, kondisi sastra Indonesia pun sama mengalami benturan antara para pengarang dan pemerintah. Kebebasan pengarang dalam mengekspresikan perasaannya kadang mendapat halang-rintang dari pemerintah, apalagi jika karyanya dianggap berlawanan dengan norma sosial atau ideologi politik penguasa. Oleh karena itu, citra pengarang Indonesia terutama pada masa Orde Baru dianggap kurang baik dan terkesan dilecehkan. Kerja kreatif pengarang tak mendapat tempat khusus di mata masyarakat dan pemerintah. Tidak seperti profesi lain, hasil kerja para pengarang dianggap tak berpengaruh banyak pada kehidupan praktis.
            Sebagai pekerja kreatif, seorang pengarang dituntut untuk cerdas menyampaikan dua unsur utama karya sastra dengan padu, yakni unsur menghibur dan mendidik (dulce et utile) jika meminjam istilah Horatius. Dalam memotret realitas yang kemudian tertuang dalam karyanya, maka konteks kehidupan pengarang pun begitu dominan dalam membidani terlahirnya karya sastra. Terlepas dari pemaknaan pembaca yang nantinya akan sangat beragam, namun sepertinya para pengarang akan selalu konsisten dengan tugasnya sebagai  pekerja yang menyuarakan keadaan zamannya. 


Penulis, bergiat di Komunitas Sasaka dan Forum Alternatif Sastra (FAS) Bandung

1 komentar: