Si
Malin: “Surat Untuk Mak”
Oleh Awan William
Dear Mak
Assalamu’alaikum.
Mak apa kabar? Mak pasti bingung, kenapa Malin simpan kata dear di atas? Hehe… yang pasti, Malin biasa jumpai kata itu dari
bule-bule yang suka bersurat pada kekasih atau keluarganya. Malin ma’lum,
jikalau Mak tak paham artinya, karena Malin insyaf mengingat pendidikan Mak yang
hanya sampai kelas lima SD saja. Yang
jelas kata itu artinya bagus Mak.
Mak, Malin
insyaAllah esok hari hendak berangkat ke Jogja. Mungkin tiga hari di sana. Malin
belum tahu benar apa yang hendak Malin kerjakan. Jika liburan, teramat mahal
rasanya jika Malin bayangkan uang itu hasil dari keringat Mak yang dikucurkan
seharian menanam kentang di kebun sana. Atau teramat nista, jika Malin ingat
uang itu gajih pensiunan bapak bulan ini. Ah aku dosa nian jika bertindak
demikian Mak.
Mak mungkin
bertanya, kenapa aku mesti ke Jogja? Bukan kehendakku Mak, melainkan ini sabda
jurusan. Ini bagian dari program pembelajaran di jurusan yang aku geluti. Mak
tahu, ini kali kedua aku ke kota pendidikan itu. Dulu akupun pernah tandang ke
sana. Tepatnya kala aku masih berbaju putih abu-abu. Itu study tour namanya. Itu memang cuma liburan, tak ada kerja lain
selain kuhabiskan menikmati tiap sudut kota itu. Tapi di jalan tak kutemui kenikmatan
itu. Sepanjang jalan terpaksa kuhabiskan dengan tidur. Mak tahu tidur itu sebagai
obat mujarab bagiku agar tak mabuk di jalan. Mak tahu, sejak kecil aku tak
kuasa berlama di mobil atau kereta. Aku akan payah. Aku akan muntah.
Untuk kali ini aku belum tahu Mak. Mungkin
akan kucoba habiskan tiga hari itu untuk menulis pengalamanku di sana. Dari
mulai pengalaman pegalnya bokongku di jalan hingga kesanku yang berharap
mendapat pengalaman nikmat. Akan kucoba rangkai pengalamanku itu menjadi
barisan metafora. Mengubah pengalamanku itu menjadi sebuah kristal yang mengekalkan
semua memoriku nanti Mak.
Mak, rasanya aku
sangat malu. Aku kuliah di jurusan sastra, tapi tak pernah aku berkarya. Kata
mereka itu sebuah keironisan Mak. Sekarang aku tahu, ke mana seharusnya aku
punya tujuan. Setelah aku banyak “berkelana” dengan mereka (penulis) di kampus,
aku bak disadarkan. Aku tak punya jiwa lain. Aku tak bisa berteriak lantang
laiknya aktivis yang mencari “kursi”,
sepiring nasi, atau secangkir kopi. Tak ada aku jiwa ke sana. Mungkin
setelah ini, aku ingin menjadi seorang penulis saja. Walau aku sadar, aku tak punya
darah penulis dari Mak dan Bapak. Aku sadar itu. Tapi bagiku Mak, menulis
adalah kerja intelektual yang melatih diriku menjadi seorang kritis. Mencerna
semua pengalaman lalu kujadikan itu sebuah karya, paling tidak akulah
satu-satunya orang yang bisa bangga pada karyaku sendiri. Tak menulis berarti
tak hadir, tak berkarya kita dianggap tak ada.
Akan kumulai di
sana Mak. Seingatku Jogja adalah tempat kharismatik yang penuh “magis” sejarah
serta budayanya. Semua orang tahu, di sana berdiri megah candi-candi raksasa.
Borobudur yang kokoh bak kerajaan itu, membekas peradaban manusia Indonesia
dulu. Ada jejak kejayaan raja Wangsa Syailendra sang pendirinya di sana. Tak
ayal si penjelajah tangguh dari Inggris, Raffles terang-terangan memuji karya
manusia Indonesia itu. Tak pernah ia jumpai di negerinya serupa candi-candi
itu. Ia takjub. Ia terkesima. Walhasil ia namai candi itu Borobudur. Ia bak pemberi nama ulung, sebagaimana ia namai negeri singa itu menjadi
Singapura.
Selain itu Mak, ada satu candi lagi. Namanya
Prambanan. Aku tahu Mak pernah sesekali melihatnya di Tivi. Prambanan atau Trimurti
itu katanya Mak, candi Hindu paling besar di Indonesia. Sudah tua nian umurnya.
Dibuat sekitar tahun 9 masehi Mak. Kalau aku tak keliru, Prambanan pernah
runtuh oleh gempa tahun 2005. Itu sebuah kerugian. Tapi ada hikmahnya juga Mak.
Sebab, karena gempa itu Persib tak jadi didegradasi. Maaf mak, selama aku
tinggal di Bandung aku jadi cinta Persib. Bukan tak sayang lagi Semen Padang
klub leluhurku, tapi kasihku padanya menjadi terbagi. Aku di antara merahnya
Semen Padang dan birunya Persib Bandung.
Tapi Mak, coba
bayangkan jika orang Indonesia dulu tak pernah membangun (berkarya) serupa
candi-candi itu. Mungkin Indonesia takkan diketahui dunia. Nah, bagiku juga
sama Mak, tak menulis (berkarya), kita takkan dikenang orang. Apalagi Malin
kuliah di jurusan sastra, tak menulis itu haram hukumnya. Malu sangat jika tak
berkarya.
Malin insyaf jika di Jogja sana banyak objek
sejarah yang bisa Malin tulis. Malin hendak
patenkan semua pengalaman itu menjadi barisan kata. Senada yang
dilakukan Maugham, penulis Inggris itu, kala dia berkelana ke Kalimantan sana.
Pandai nian ia lukiskan semua apa yang ia indrai menjadi cerpen yang dikasih
judul “Akhir Pelarian” . ia alunkan kisahnya begitu enak, seolah aku, si
pembacanya telah sampai di ranah Borneo sana. Lihat saja, raganya sudah habis
dimakan rayap dalam tanah, tapi karya tulisnya siapa tak tahu. Karangannya
dibaca orang di setiap sudut dunia. Karyanya tetap hidup dan kekal. Ah, akupun
sama Mak, jauh-jauh ke Jogja mencari ilham buat menulis, akan banyak sangat pengalaman yang aku bisa lukiskan. Bodohnya
aku jika tak kuasa menulis satupun karya. Karena katanya, ba’da pulang dari
jogja ini, karya-karya kita hendak dibukukan. Apa jadinya bila karya-karya
dalam buku itu kelak tak bagus. Malin malu, karena sebelumnya tak pernah Malin
menulis. Malin seolah asing dengan kegiatan yang satu itu.
Mak mulai sekarang
Malin hendak berkarya. Menuliskan semua pengalaman rasa Malin. Menyulapnya
menjadi bait-bait puisi, atau sederetan kisah pendek. Malin tak mau jadi
mahasiswa “kupu-kupu” hanya kuliah-pulang, atau “kura-kura” Cuma kuliah-rapat
apalagi mahasiswa “kutu kupret” yang kurang mutu-kurang prestasi. Mak, Malin
ingin berkarya. Maling ingin dikenang. Do’akan anakmu ini Mak!!!
Wassalam
Malin;
anakmu yang tampan