Sabtu, 16 Juni 2012

Telaah Kritis Untuk Jadi Penulis


Si Malin: “Surat Untuk Mak”
Oleh Awan William
Dear Mak
Assalamu’alaikum. Mak apa kabar? Mak pasti bingung, kenapa Malin simpan kata dear di atas? Hehe… yang pasti, Malin biasa jumpai kata itu dari bule-bule yang suka bersurat pada kekasih atau keluarganya. Malin ma’lum, jikalau Mak tak paham artinya, karena Malin insyaf mengingat pendidikan Mak yang hanya sampai kelas lima SD saja.  Yang jelas kata itu artinya bagus Mak.
Mak, Malin insyaAllah esok hari hendak berangkat ke Jogja. Mungkin tiga hari di sana. Malin belum tahu benar apa yang hendak Malin kerjakan. Jika liburan, teramat mahal rasanya jika Malin bayangkan uang itu hasil dari keringat Mak yang dikucurkan seharian menanam kentang di kebun sana. Atau teramat nista, jika Malin ingat uang itu gajih pensiunan bapak bulan ini. Ah aku dosa nian jika bertindak demikian Mak.
Mak mungkin bertanya, kenapa aku mesti ke Jogja? Bukan kehendakku Mak, melainkan ini sabda jurusan. Ini bagian dari program pembelajaran di jurusan yang aku geluti. Mak tahu, ini kali kedua aku ke kota pendidikan itu. Dulu akupun pernah tandang ke sana. Tepatnya kala aku masih berbaju putih abu-abu. Itu study tour namanya. Itu memang cuma liburan, tak ada kerja lain selain kuhabiskan menikmati tiap sudut kota itu. Tapi di jalan tak kutemui kenikmatan itu. Sepanjang jalan terpaksa kuhabiskan dengan tidur. Mak tahu tidur itu sebagai obat mujarab bagiku agar tak mabuk di jalan. Mak tahu, sejak kecil aku tak kuasa berlama di mobil atau kereta. Aku akan payah. Aku akan muntah.
 Untuk kali ini aku belum tahu Mak. Mungkin akan kucoba habiskan tiga hari itu untuk menulis pengalamanku di sana. Dari mulai pengalaman pegalnya bokongku di jalan hingga kesanku yang berharap mendapat pengalaman nikmat. Akan kucoba rangkai pengalamanku itu menjadi barisan metafora. Mengubah pengalamanku itu menjadi sebuah kristal yang mengekalkan semua memoriku nanti Mak.
Mak, rasanya aku sangat malu. Aku kuliah di jurusan sastra, tapi tak pernah aku berkarya. Kata mereka itu sebuah keironisan Mak. Sekarang aku tahu, ke mana seharusnya aku punya tujuan. Setelah aku banyak “berkelana” dengan mereka (penulis) di kampus, aku bak disadarkan. Aku tak punya jiwa lain. Aku tak bisa berteriak lantang laiknya aktivis yang mencari “kursi”,  sepiring nasi, atau secangkir kopi. Tak ada aku jiwa ke sana. Mungkin setelah ini, aku ingin menjadi seorang penulis saja. Walau aku sadar, aku tak punya darah penulis dari Mak dan Bapak. Aku sadar itu. Tapi bagiku Mak, menulis adalah kerja intelektual yang melatih diriku menjadi seorang kritis. Mencerna semua pengalaman lalu kujadikan itu sebuah karya, paling tidak akulah satu-satunya orang yang bisa bangga pada karyaku sendiri. Tak menulis berarti tak hadir, tak berkarya kita dianggap tak ada.
Akan kumulai di sana Mak. Seingatku Jogja adalah tempat kharismatik yang penuh “magis” sejarah serta budayanya. Semua orang tahu, di sana berdiri megah candi-candi raksasa. Borobudur yang kokoh bak kerajaan itu, membekas peradaban manusia Indonesia dulu. Ada jejak kejayaan raja Wangsa Syailendra sang pendirinya di sana. Tak ayal si penjelajah tangguh dari Inggris, Raffles terang-terangan memuji karya manusia Indonesia itu. Tak pernah ia jumpai di negerinya serupa candi-candi itu. Ia takjub. Ia terkesima. Walhasil ia namai candi itu  Borobudur. Ia bak pemberi nama  ulung, sebagaimana ia namai negeri singa itu menjadi Singapura.
 Selain itu Mak, ada satu candi lagi. Namanya Prambanan. Aku tahu Mak pernah sesekali melihatnya di Tivi. Prambanan atau Trimurti itu katanya Mak, candi Hindu paling besar di Indonesia. Sudah tua nian umurnya. Dibuat sekitar tahun 9 masehi Mak. Kalau aku tak keliru, Prambanan pernah runtuh oleh gempa tahun 2005. Itu sebuah kerugian. Tapi ada hikmahnya juga Mak. Sebab, karena gempa itu Persib tak jadi didegradasi. Maaf mak, selama aku tinggal di Bandung aku jadi cinta Persib. Bukan tak sayang lagi Semen Padang klub leluhurku, tapi kasihku padanya menjadi terbagi. Aku di antara merahnya Semen Padang dan birunya Persib Bandung.
Tapi Mak, coba bayangkan jika orang Indonesia dulu tak pernah membangun (berkarya) serupa candi-candi itu. Mungkin Indonesia takkan diketahui dunia. Nah, bagiku juga sama Mak, tak menulis (berkarya), kita takkan dikenang orang. Apalagi Malin kuliah di jurusan sastra, tak menulis itu haram hukumnya. Malu sangat jika tak berkarya.
 Malin insyaf jika di Jogja sana banyak objek sejarah yang bisa Malin tulis. Malin hendak  patenkan semua pengalaman itu menjadi barisan kata. Senada yang dilakukan Maugham, penulis Inggris itu, kala dia berkelana ke Kalimantan sana. Pandai nian ia lukiskan semua apa yang ia indrai menjadi cerpen yang dikasih judul “Akhir Pelarian” . ia alunkan kisahnya begitu enak, seolah aku, si pembacanya telah sampai di ranah Borneo sana. Lihat saja, raganya sudah habis dimakan rayap dalam tanah, tapi karya tulisnya siapa tak tahu. Karangannya dibaca orang di setiap sudut dunia. Karyanya tetap hidup dan kekal. Ah, akupun sama Mak, jauh-jauh ke Jogja mencari ilham buat menulis, akan banyak sangat  pengalaman yang aku bisa lukiskan. Bodohnya aku jika tak kuasa menulis satupun karya. Karena katanya, ba’da pulang dari jogja ini, karya-karya kita hendak dibukukan. Apa jadinya bila karya-karya dalam buku itu kelak tak bagus. Malin malu, karena sebelumnya tak pernah Malin menulis. Malin seolah asing dengan kegiatan yang satu itu.
Mak mulai sekarang Malin hendak berkarya. Menuliskan semua pengalaman rasa Malin. Menyulapnya menjadi bait-bait puisi, atau sederetan kisah pendek. Malin tak mau jadi mahasiswa “kupu-kupu” hanya kuliah-pulang, atau “kura-kura” Cuma kuliah-rapat apalagi mahasiswa “kutu kupret” yang kurang mutu-kurang prestasi. Mak, Malin ingin berkarya. Maling ingin dikenang. Do’akan anakmu ini Mak!!!

Wassalam

Malin; anakmu yang tampan

Resensi Antologi Puisi "Nisan di Kota Api"


Kemajemukan yang Kontemplatif
Oleh Asep Gunawan

Pada dasarnya, puisi terlahir dari pengalaman estetis sang pengarangnya. Sebuah pengalaman yang diramu dengan olah bahasa yang lihai, sehingga akan terlihat begitu menarik ketika hasil pengindraan atas realitas itu dibingkai dengan diksi-diksi menawan. Terlepas dari bagaimana sang pengarang membahasakan pengalamannya, ada simbol-simbol dari tiap diksi yang dipakainya, yang dimaksudkan untuk membagi nilai rasa atau merepresentasikan maksud dari apa yang dirasa oleh si empunya puisi. Oleh karena itu, dari simbol  yang dilemparkan si pengarangnya, terdapat makna yang siap ditangkap oleh sang pembacanya, untuk ditafsir dan didekati pemaknaannya.
Dalam memaknai puisi, kita tak bisa terlepas dari tema yang diutarakan oleh sang pengarang. Untuk menangkap tema yang secara eksplisit diutarakan itu, bisa dilacak dari bagaimana si pengarang mengutarakan suasana batinnya melalui penggunaan diksi-diksi yang terpilih. Tentunya, penggunaan diksi tersebut bukan hanya untuk memenuhi nilai estetis semata, namun lebih pada bagaimana diksi itu bisa menghadirkan ruh pada puisinya.
Menarik ketika saya membaca Antologi puisi berjudul “ Nisan di Kota Api”. ketika membacanya, saya seolah dibawa ke ranah puitis puisi yang begitu kaya dengan tema. Ada kurang lebih 40 puisi yang tersaji dalam buku ini. Tema yang disuguhkan dua penyair kontemporer Bunyamin Fasha (BF) dan Pungkit Wijaya (PW) ini, memberikan suguhan tematis yang begitu majemuk. Kolaborasi keduanya memberikan nuansa yang begitu kaya dengan pengalaman estetis masing-masing. Dengan lihai kedua penyair ini membawa saya pada realitas keseharian yang bernilai kontemplatif. Kejadian-kejadian yang biasa kita temui sehari-hari menjadi bahan perenungan yang mendalam. Dan tentunya, hal itu dikemas dengan gaya penceritaan masing-masing. Jika BF mengemas puisinya melalui gaya sederhana dengan sisipan unsur romantisismenya, maka PW memilih membahasakan puisinya melalui gaya ekspresif yang disertai  simbol-simbolnya yang kuat.
Pada puisi BF yang berjudul “Tubuhku Menjelma Hujan” ada nuansa kegalauan si aku lirik pada puisi ini. //Tubuhku menjelma hujan//Merintik di genting-genting rumah//Meresap di akar lumut yang tumbuh di sela-sela//Atap.// Aku terus mengelana, mengenal retakan tembok, cat //Yang mulai memudar, dan mencium bau bekas jejak tikus.//Lalu Cuaca semakin pudar, mendidis mimpi yang tersesat.//Tubuhku menjelma hujan//Dari genting tergelincir jatuh ke tanah. Menciprat rerumputan, ditangkap //Kelopak kembang. //Cuaca menjadi lanau.//Menjelma hujan, tubuhku terus meliuk ke selokan. //Menggenang di hati dangau//Meriak, mericik, lalu mengendap di Muara/./ Aku pun berputar-putar; Risau.
Pada puisi yang satu ini, BF menjelmakan si aku lirik ke dalam wujud hujan. Kegamangannya menjadikan hujan itu mengalir tak jelas arah—hanya berputar-putar—tanpa menuju ujung kepastian.  Ada nuansa kontemplasi yang begitu nyata dalam puisi ini. bagaimana  BF memberikan ruang perenungan pada pembacanya tentang hakikat hidup. Hujan yang turun diasosiasikan dengan kelahiran manusia ke dunia, yang pada intinya BF mengisyaratkan bahwa hidup merupakan sebuah perjalanan tak henti —proses pencarian hakikat hidup—yang kadang menemui terjalnya jalan. BF dengan piawai membungkus nilai adiluhung itu melalui gaya romantiknya, terbukti dalam kebanyakan puisi BF selalu ada unsur alam yang hadir terutama kata “hujan”. Paling tidak ada 19 kata “hujan” dalam puisi yang termaktub dalam buku ini. Entah ada semacam daya “magis” apa yang membuat BF begitu doyan memasukan kata hujan dalam puisi-puisinya. Namun, kata hujan selalu ada kesamaan asosiasi antara satu dan yang lainnya. Jika dalam “Tubuhku Menjelma Hujan” ada nuansa galau di dalamnya, pun hal yang sama ditemukan pula pada puisinya yang berjudul “Dalam Hujan” hujan, seolah hidup dan  terisak meratapi berbagai keadaan, yang diamini oleh si Aku lirik yang memasrahkan semuanya kepada yang “Tak ada”, //dalam Hujan, yang tetap terisak //ku pasrahkan segalanya //pada yang Tak Ada.
Berbeda dengan BF, PW lebih mengutamakan kesan mendalam tentang apa yang dia rasa melalui simbol-simbol yang merujuk pada romantisme historis. Seperti pada satu puisinya yang dijuduli “Demi Bukit Golgota”. PW, seolah mengajak pembacanya untuk ikut terhanyut dalam lansekap bukit Golgota yang kental dengan nilai historisnya.  Dalam puisinya ini, PW menggambarkan kegamangan pula pada si Aku lirik.  Pada dua baris terakhir, gambaran dilematis itupun seakan dipertegas, “Demi bukit Golgota, kubiarkan diriku menjadi hujan //Menjadi jarum jam yang terpaksa melukaimu”. Ada relasi yang terjadi antara si Aku lirik dengan orang kedua yang diwakilkan dengan kata ganti “mu”. Semacan hubungan dekat namun, ada kondisi yang membuat si Aku lirik terpaksa melukainya. Kemudian kegalauan seperti itupun bisa ditemukan pada puisinya yang lain seperti, “Santiong”, “Langit Kurusetra” dan “Di kota Api” yang menjadi bagian dari judul buku ini.
Terlepas dari nuansa galau yang dinarasikan oleh kedua penyair ini, ada semacam nilai profetik yang membuat pembacanya dibawa ke ranah kontemplatif—memikirkan pemaknaan atas hidup—atau kalau meminjam istilah Kuntowijoyo mah ada unsur transendentalnya.
            Namun pembacaan saya pada buku antologi puisi ini, seolah sedikit terganggu oleh kesalahan elementer penulisan yang luput dari proses editing. Semisal kata matari (hal:16, bait: 4, baris: 1) yang dimaksudkan BF mungkin kata “matahari”, kemudian pada kata “meringgis” (hal: 62, bait: 6, baris: 4) yang dimaksudkan PW mungkin kata “meringis”. Kesalahan elementer tersebut mengindikasikan proses editing yang terlalu terburu-buru, hingga banyak diksi yang tak terbaca dengan cermat. Namun, terlepas dari itu semua, puisi karya penyair berbeda generasi ini, patut mendapat tempat di benak para penikmat puisi dan tentunya bisa mengisi rak khazanah kesusastraan Indonesia. Mengingat, eksplorasi gaya keduanya yang cukup menawan dalam puisi-puisinya.

Bahasa Inggris dalam Kultur Pendidikan kita


Bahasa Inggris dalam Kultur Pendidikan kita
Oleh Asep Gunawan*

Dalam era globalisasi sekarang, sekat-sekat antara satu bangsa dengan dunia luar semakin menipis. Setiap bangsa seolah berlomba memberikan pengaruh dalam menunjukan peradabannya. Terutama di jaman revolusi informasi sekarang ini, setiap informasi di suatu negara akan serta merta diketahui belahan dunia lain, termasuk dengan bahasa Inggris yang begitu dominan memengaruhi ranah kehidupan setiap bangsa. Peran media juga seolah terus mengampanyekan bahasa inggris. Misalnya ketika di depan kamera, —supaya terlihat keren dan berwawasan— istilah-istilah bahasa Inggris selalu dikutip oleh sebagian orang.
Akibatnya manusia Indonesia sekarang seolah dituntut untuk bisa berbahasa Inggris ketika berbicara. Namun, yang harus diperhatikan, bagaimana dampak ketika kita terus menerus berkiblat pada bahasa inggris?  Saya kira di sinilah letak yang kurang arif itu. Di mana bahasa nasional dan bahasa daerah akan semakin terdegradasi keberadaannya, ketika bahasa Inggris terus dijadikan acuan pemakaiannya, lambat laun bahasa Indonesia dan bahasa daerah akan semakin tidak menarik untuk dipakai. Dan semua orang akan berbondong-bondong berbahasa Inggris—sehingga lebih akrab di telinga kita ketimbang bahasa daerah dan bahasa nasional kita.
Meminjam istilah Nyoman Kutharatna (2010), hal ini tidak terlepas dari apa yang disebut dengan wacana glokalisasi. Terma glokalisasi menuntun setiap budaya (bahasa) global untuk dilokalkan. Dalam konteks ini, tentu saja bahasa inggris sebagai produk global akan dipaksakan menjadi produk lokal melalui intensitas pemakaiannya.
Begitupun pada wajah dunia pendidikan Indonesia saat ini. Entah kenapa, bahasa Inggris selalu menjadi acuan bagi peradaban yang lebih baik. Memang benar, sayapun tak memungkiri peran vital bahasa Inggris dalam masa kekinian. Bahasa Inggris menjadi bahasa yang menjembatani perkembangan ilmu pengetahuan dengan dunia luar. Namun akan sangat ironis, jika kita condong pada bahasa Inggris tapi kurang pengetahuan tentang bahasa daerah dan nasional kita.
Gejala ini banyak menuntut semua orang untuk bisa berbahasa Inggris dengan acuannya nilai besar TOEFL. Sebuah kebijakan pemerintah yang kurang tepat dalam konteks keindonesiaan, karena semua tuntutan untuk bisa dan mengerti bahasa Inggris diberlakukan, namun banyak orang yang masih lemah pengetahuan bahasa Indonesianya.  Masih banyak kosakata bahasa lokal yang tak diketahui. Hal inilah yang mengindikasikan bahwa pendidikan bahasa lokal bisa dibilang gagal. Sikap latah bangsa kita yang selalu ingin meniru gaya luar yang berbahasa inggris dalam keseharianya, tak dibarengi dengan pengetahuan kebahasaan daerah dan nasional.
Dalam dunia pendidikan sekarang ini, kehadiran bahasa lokal (baca: daerah) seolah masih dipandang sebelah mata. Dalam kurikulum sekolah, bahasa daerah masih menjadi hal yang asing di rumahnya sendiri. Ini dampak dari sepinya penggunaan bahasa itu oleh para penuturnya—terutama kalangan muda-mudi. Mungkin karena dalam dunia pendidikan dan pembelajaran bahasa daerah belum terlalu intens. Akibatnya rasa kepemilikan (sense of belonging) siswa terhadap bahasa ibunya menjadi semakin berjarak. Sehingga bahasa daerah  menjadi tidak enak digunakan oleh lidah penuturnya. Lambat laun jika hal ini terus terjadi, maka akan mengakibatkan bahasa daerah semakin terkikis ekistensinya—bahkan di ambang kepunahan.
Khususnya di sekolah RSBI, yang bahasa pengantarnya berbahasa Inggris, intensitas penggunaan bahasa lokal khususnya bahasa daerah akan semakin terkikis. Pola komunikasi yang terjalin antara guru dan murid, terus menerus dengan bahasa Inggris, sehingga kedekatan yang terjalin secara kultural kedaerahan itu tak nampak, yang ada hanya sebuah jarak. Dampak psikologis yang terjadi ialah ketika si murid yang secara kebahasaan kurang mampu berbahasa Inggris akan cenderung lebih pasif dan tertutup. Begitupun ketika dalam kegiatan belajar mengajar. Aktivitas yang disokong dengan bahasa Inggris akan menimbulkan berbagai kemungkinan penafsiran. Karena saya yakin kemampuan berbahasa Inggris setiap murid tidak sama, maka kemungkinan untuk salah tafsir tentang apa yang dikatakan guru itu akan ada. Maka jika terjadi salah pemahaman, bukan kemajuan ilmu yang didapat, tapi hanya akan menjadi statis dan jalan di tempat karena kendala bahasa yang cenderung dipaksakan itu.
Seperti yang dikatakan oleh Djoko Subinarto, bahwasannya standarisasi sekolah internasional itu bukan ditentukan oleh bahasa pengantarnya, namun dengan kurikulum yang dipakai sebuah sekolah. Saya kira pemaksaan dengan bahasa Inggris sebagai pengantar seolah membentuk sebuah ego citraan belaka. Karena dengan banyaknya para pengguna bahasa Inggris di sekolah bukan indikator penting kualitas kajian keilmuannya, namun sejauhmana keilmuan yang dipelajari, bisa dipahami dengan optimal dan tentunya diaplikasikan untuk kemajuan bangsa.
Menjadi hal yang penting untuk kita mempelajari bahasa Inggris. Namun harusnya hal itu dibarengi dengan kesadaran akan nilai lokalitas yang sudah tertanam dalam diri kita. Akan menjad bijak, jika kita mampu berbahasa Inggris dalam rangka menjembatani perkembangan ilmu pengetahuan dunia,lalu menerapkannya ke dalam kultur lokalitas kita tanpa harus tercerabut dari identitas kebangsaan kita. (Dimuat di HU Galamedia)