Senin, 05 November 2012

Indonesia Menunggu ‘Godot’



Indonesia Menunggu ‘Godot’
Oleh Asep Gunawan

            Entah harus sampai kapan bagi Indonesia untuk terus menunggu. Menunggu Indonesia beranjak dari semua masalah yang terus berganti tanpa henti. Kesejahteraan menjadi kata yang tak dekat dengan Indonesia.  Sebuah impian sejahtera yang sudah sedari dulu dicita-citakan para Founding Fathers kita semisal, Bung Karno, Bung Hatta, dan Sutan Syahrir. Rasanya cita-cita adiluhung mereka itu menguap begitu saja, dan hanya menjadi bunga-bunga bicara para pemimpin sekarang. Figur pemimpin Indonesia kini seolah menjadi tokoh-tokoh yang silih berganti dan berlomba-lomba mencitrakan diri sebaik mungkin, tanpa dibarengi kualitas kepemimpinan mumpuni yang people oriented. Indonesia sudah rindu dengan negarawan yang bisa mendengar jerit suara  rakyatnya. Namun lagi-lagi Indonesia masih harus menunggu.  
            Menunggu memang selalu menjemukan. Begitulah pepatah lama yang begitu sering kita dengar. Tak ada seorang pun yang mau dan mampu menunggu berlama-lama. Terutama jika penantian itu hanya berupa penantian kosong yang tak jelas kapan berakhir. Menunggu memang dekat dengan ketidakpastian.
            Samuel Beckett sudah jauh-jauh hari mengamini kejemuan menunggu itu. Sastrawan Irlandia yang besar di Prancis itu, menggambarkannya melalui lakon berjudul “ Waiting For Godot”. Lakon yang pernah meraih hadiah Nobel 1969 ini, membicarakan dua sahabat karib bernama Vladimir dan Estragon. Mereka memiliki janji pertemuan dengan Godot di suatu tempat. Mereka tak pernah tahu siapa sebenarnya Godot itu, namun bagi mereka Godot merupakan sosok penting dan agung.  Sembari menunggu kedatangan Godot, keduanya banyak berbincang dan berdiskusi, hingga kadang perbincangan keduanya berbuah pertengkaran.
            Tamu agung bernama Godot itu tak kunjung datang. Malah Godot mengutus seseorang untuk mengantarkan surat yang berisi bahwa Godot mengundur kedatangannya hingga esok hari.  Pengharapan Vladimir dan Estragon berubah menjadi kekecewaan. Godot tak datang hari ini, melainkan besok. Penundaan itu terus berulang, tapi Godot pun tak jua datang.
            Mungkin saya terlalu dini dan naïf untuk menyamakan cerita lakon Beckett itu dengan wajah Indonesia kiwari. Tapi keadaan Indonesia sekarang serta kedua tokoh itu pun nyatanya tak mutlak berbeda. Indonesia memang sedang menunggu dengan rindu. Sudah lama Indonesia tak berjumpa sosok negarawan dan pemimpin yang bisa mendengar suara lirih rakyat yang tercekik keadaan. Rasa rindu yang entah harus menunggu berapa lama lagi untuk bisa terobati. Rakyat nampaknya sudah jengah dan bosan dengan harapan kosong yang sering diumbar begitu manis oleh sosok yang mengaku pemimpin. Tapi semuanya tak kunjung menemui jalan terang kesejahteraan.
            Sementara menunggu ketidakpastian, kita harus masih berurusan dengan masalah klasik: korupsi para politikus, kemiskinan yang tak kunjung usai, gajih guru yang tak manusiawi atau tawuran pelajar dan mahasiswa,. Masalah klise yang dari dulu tak kunjung menemui titik temu. Sepanjang tahun kita hanya berdebat. Bicara ngalor-ngidul. Bertengkar, saling jegal, saling meludah, saling bunuh, tetapi Godot atau pemimpin adiluhung itu tak jua datang.
            Menunggu memang bisa membuat orang cepat stress, maka kompensasinya mudah marah. Maka jangan heran kalau kekerasan demi kekerasan terjadi di mana-mana. Menunggu memang membahayakan bagi jiwa yang labil. Perubahan yang kita nantikan sejak Orde Baru turun dari arena kekuasaan lalu sebentar kemudian kita kembali pesimistis dengan para penguasa kita. Tak ada kata keadilan. Yang ada hanya kebatilan. Dan kita hanya disuguhi janji kosong. Barangkali benar, Godot atau pemimpin adiluhung itu tidak ada. Itu hanya mitos yang diciptakan penguasa untuk meninabobokan rakyatnya.
            Masalah sosial yang kompleks terkadang membuat kita putus asa menjalani hidup. Masalah yang menggugah kesadaran kita bahwa bangsa kita berada pada kondisi mencemaskan. Persoalan dan rintangan dalam mencari kegembiraan hidup tidak sedikit kita jalani, hingga pada akhirnya kita membutuhkan satu sosok yang bisa menyelesaikan semua persoalan itu. Seorang pribadi dinantikan kedatangan dan kehadirannya, karena ada kualitas diri yang membuatnya berharga untuk dinantikan. Penghargaan itulah yang menimbulkan kesetiaan dalam menantikannya dan harapan bahwa ia akan sungguh datang dan hadir. Semoga!!!  (Dimuat di Galamedia)

Tentang Sastra Terjemahan



 Sastra Terjemahan: Sebuah Jembatan Antarbudaya
Oleh Asep Gunawan

            Menerjemahkan karya sastra nyatanya bukanlah perkara gampang. Banyak hal yang perlu ditinjau dari kompleksitas teks yang terlahir dari bahasa dan budaya berbeda. Menerjemahkan bukan hanya tentang mengalihkan suatu bahasa ke dalam bahasa lain, tapi di dalamnya ada upaya menghubungkan antara konteks pengarang dengan keadaan sosial- budaya pembacanya.  Dalam hal ini tentu saja seorang penerjemah harus bisa menempatkan diri di antara dua kultur berbeda: kultur pengarang dan kultur pembaca.  
            Perbedaan kultur itu kadang menjadi kendala khusus bagi penerjemah dalam menafsirkan apa yang digambarkan pengarang dalam teksnya. Setiap tafsiran penerjemah haruslah berdasarkan pada pembacaan dekat (close reading). Terkadang banyak kosa-kata yang mengacu pada kultur kehidupan pengarangnya sendiri yang tak ditemui padanannya ketika dikontekstualisasikan dengan bahasa keduanya.
            Upaya penerjemahan karya sastra memang penting adanya. Disadari atau tidak, penerjemahan karya sastra asing ke dalam bahasa Indonesia atau pun sebaliknya menjadi jembatan penghubung antara dua kebudayaan berbeda. Penerjemahan menjadi medium di mana pembaca bisa mengenali budaya luar melalui karya sastranya. Upaya ini dilakukan tentu saja dalam rangka saling tukar budaya yang bisa menjadikan karya sastra luar sebagai bahan pembelajaran untuk menaikkan kualitas karya sastra nasional.
            Jika kita kembali melihat ke belakang, penerjemahan sastra ini sudah gencar dilakukan oleh banyak sastrawan besar Indonesia, semisal HB Jassin, Chairil Anwar, Pramoedia Ananta Toer, dll.  Ini membuktikan bahwa sebagai bangsa, kita mempunyai rasa ingin tahu yang kuat untuk mengenal dan menghayati kebudayaan dan pengalaman bangsa lain. Kita menyadari bahwa dalam zaman komunikasi yang semakin laju ini, tidak ada manfaatnya sama sekali untuk menutup diri dengan hanya mengagumi dan melestarikan kebudayaan dan pengalaman diri sendiri. Untuk bisa bergaul dengan bangsa lain dengan lebih percaya diri, kita perlu mengenal kebudayaan dan pengalamannya. Dan dalam hal ini, sastra adalah semacam jalan pintas.

Menduniakan Sastra Nasional
            Sebagai bagian dari sastra dunia, sastra Indonesia sudah selayaknya masuk ke dalam barisan sastra yang dikenali bangsa lain. Upaya yang paling memungkinkan dan efektif adalah dengan menerjemahkan sastra nasional kita ke dalam bahasa-bahasa yang banyak dikenal, terutama bahasa Inggris. Penerjemahan sastra nasional ke dalam bahasa internasional menjadi begitu penting, terutama bagi Indonesia sebagai bangsa ketiga yang kadang dipandang sebelah mata. Hal ini diperkuat dengan pernyataan  Ketua Akademi Swedia, Peter Englund yang menganggap bahwa selama ini penghargaan terhadap karya sastra itu terlalu eurosentris, hingga terkadang melupakan karya-karya dari dunia ketiga. Upaya Englund pun cukup berhasil, terbukti dalam beberapa dekade terakhir nama-nama peraih nobel sastra dari dunia timur pun mulai bermunculan ke permukaan. Yang paling hangat mungkin pada tahun 2012 ini, nobel sastra berhasil diraih  Mo Yan yang notabene berkewarganegaraan Cina.
            Jika kita melihat profil sekilas tentang Mo Yan, nyatanya dia bukan pengarang yang menulis langsung dengan menggunakan bahasa Inggris. Memang tema-tema yang diungkapkan oleh pengarang beraliran ‘ realisme halusionis’ ini menarik, karena banyak mengungkapkan ceritanya melalui pencampuran realitas dan fantasi, perspektif sejarah dan sosial, namun tentu saja semua itu takkan dibaca dunia luar jika tanpa peran para penerjemah di balik karya-karyanya. Penerjemahnyalah yang berhasil mengantarkan karya-karya Mo Yan ke gelanggang sastra dunia dan menjadi begitu diperhitungkan, hingga bisa meraih nobel paling bergengsi itu.
            Bagaimana dengan sastra Indonesia? Yang paling monumental dari sastra Indonesia mungkin hanya karya-karya Pramoedia Ananta Toer yang diterjemahkan ke dalam kurang-lebih 40 bahasa di dunia. Selepas itu, rasanya sastra kita belum bisa dikenal lagi oleh dunia luar. Namun akhir-akhir ini upaya menduniakan sastra Indonesia itu mulai kembali menggeliat. Beberapa waktu lalu, Yayasan Lontar berhasil menerjemahkan beberapa karya sastra Indonesia ke dalam Bahasa Inggris, semisal Never the Twain (Salah Asuhan) karya Abdoel Moeis, Shackles (Belenggu) karya Armijn Pané, The Fall and the Heart (Kejatuhan dan Hati) karya S. Rukiah, Mirah of Banda (Mirah dari Banda) karya Hanna Rambé, Family Room (kumpulan cerpen) karya Lily Yulianti Farid, And the War is Over (Dan Perang pun Usai) karya Ismail Marahimin, The Pilgrim (Ziarah) karya Iwan Simatupang, Siti Nurbaya karya Marah Rusli, Telegram karya Putu Wijaya, dan Supernova karya Dewi Lestari.
             Selain itu upaya penerjemahan itu pun nyatanya memang serius. Pada tahun 2012 ini didirikanlah sebuah lembaga yang menaungi penerjemahan sastra yang bernama ‘Inisiatif: Penerjemahan Sastra’. Lembaga ini kedepannya akan berperan aktif dalam usaha menerjemahkan sastra asing ke dalam bahasa Indonesia atau pun sebaliknya, yang tentu saja dengan kualitas terjemahan yang baik dan mumpuni.
            Hal ini tentu saja merupakan bagian dari jika meminjam istilah Sapardi pergaulan antarbangsa  yang di mana kita disarankan untuk "memberi dan menerima". Tentu saja dalam usaha bergaul itu, kita tidak hanya harus menerima; kita juga harus memberi. Melalui penerjemahan karya sastra kita ke dalam bahasa lain khususnya bahasa Inggris kita tentu saja telah ikut serta dalam memberikan sumbangsih tentang gambaran dunia kita kepada bangsa lain, sehingga kedepannya eksistensi kesusastraan kita pun tentunya akan diperhitungkan. (Dimuat di rubrik ‘Khazanah’ Pikiran Rakyat).