Indonesia Menunggu ‘Godot’
Oleh Asep Gunawan
Entah harus sampai kapan bagi
Indonesia untuk terus menunggu. Menunggu Indonesia beranjak dari semua masalah
yang terus berganti tanpa henti. Kesejahteraan menjadi kata yang tak dekat
dengan Indonesia. Sebuah impian
sejahtera yang sudah sedari dulu dicita-citakan para Founding Fathers kita semisal, Bung Karno, Bung Hatta, dan Sutan
Syahrir. Rasanya cita-cita adiluhung mereka itu menguap begitu saja, dan hanya
menjadi bunga-bunga bicara para pemimpin sekarang. Figur pemimpin Indonesia
kini seolah menjadi tokoh-tokoh yang silih berganti dan berlomba-lomba
mencitrakan diri sebaik mungkin, tanpa dibarengi kualitas kepemimpinan mumpuni
yang people oriented. Indonesia sudah
rindu dengan negarawan yang bisa mendengar jerit suara rakyatnya. Namun lagi-lagi Indonesia masih
harus menunggu.
Menunggu memang selalu menjemukan.
Begitulah pepatah lama yang begitu sering kita dengar. Tak ada seorang pun yang
mau dan mampu menunggu berlama-lama. Terutama jika penantian itu hanya berupa
penantian kosong yang tak jelas kapan berakhir. Menunggu memang dekat dengan
ketidakpastian.
Samuel Beckett sudah jauh-jauh hari
mengamini kejemuan menunggu itu. Sastrawan Irlandia yang besar di Prancis itu,
menggambarkannya melalui lakon berjudul “ Waiting For Godot”. Lakon yang pernah
meraih hadiah Nobel 1969 ini, membicarakan dua sahabat karib bernama Vladimir dan Estragon. Mereka memiliki janji
pertemuan dengan Godot di suatu tempat. Mereka tak pernah tahu siapa sebenarnya
Godot itu, namun bagi mereka Godot merupakan sosok penting dan agung. Sembari menunggu kedatangan Godot, keduanya
banyak berbincang dan berdiskusi, hingga kadang perbincangan keduanya berbuah
pertengkaran.
Tamu agung bernama Godot itu tak
kunjung datang. Malah Godot mengutus seseorang untuk mengantarkan surat yang
berisi bahwa Godot mengundur kedatangannya hingga esok hari. Pengharapan Vladimir dan Estragon berubah
menjadi kekecewaan. Godot tak datang hari ini, melainkan besok. Penundaan itu
terus berulang, tapi Godot pun tak jua datang.
Mungkin saya terlalu dini dan naïf
untuk menyamakan cerita lakon Beckett itu dengan wajah Indonesia kiwari. Tapi keadaan Indonesia sekarang serta kedua tokoh itu pun nyatanya
tak mutlak berbeda. Indonesia memang sedang menunggu dengan rindu. Sudah lama
Indonesia tak berjumpa sosok negarawan dan pemimpin yang bisa mendengar suara
lirih rakyat yang tercekik keadaan. Rasa rindu yang entah harus menunggu berapa
lama lagi untuk bisa terobati. Rakyat nampaknya sudah jengah dan bosan dengan
harapan kosong yang sering diumbar begitu manis oleh sosok yang mengaku
pemimpin. Tapi semuanya tak kunjung menemui jalan terang kesejahteraan.
Sementara menunggu ketidakpastian,
kita harus masih berurusan dengan masalah klasik: korupsi para politikus,
kemiskinan yang tak kunjung usai, gajih guru yang tak manusiawi atau tawuran
pelajar dan mahasiswa,. Masalah klise yang dari dulu tak kunjung menemui titik
temu. Sepanjang tahun kita hanya berdebat. Bicara ngalor-ngidul. Bertengkar,
saling jegal, saling meludah, saling bunuh, tetapi Godot atau pemimpin
adiluhung itu tak jua datang.
Menunggu memang bisa membuat orang
cepat stress, maka kompensasinya mudah marah. Maka jangan heran kalau kekerasan
demi kekerasan terjadi di mana-mana. Menunggu memang membahayakan bagi jiwa
yang labil. Perubahan yang kita nantikan sejak Orde Baru turun dari arena
kekuasaan lalu sebentar kemudian kita kembali pesimistis dengan para penguasa
kita. Tak ada kata keadilan. Yang ada hanya kebatilan. Dan kita hanya disuguhi
janji kosong. Barangkali benar, Godot atau pemimpin adiluhung itu tidak ada.
Itu hanya mitos yang diciptakan penguasa untuk meninabobokan rakyatnya.
Masalah sosial yang kompleks
terkadang membuat kita putus asa menjalani hidup. Masalah yang menggugah
kesadaran kita bahwa bangsa kita berada pada kondisi mencemaskan. Persoalan dan
rintangan dalam mencari kegembiraan hidup tidak sedikit kita jalani, hingga
pada akhirnya kita membutuhkan satu sosok yang bisa menyelesaikan semua
persoalan itu. Seorang pribadi dinantikan kedatangan dan kehadirannya, karena
ada kualitas diri yang membuatnya berharga untuk dinantikan. Penghargaan itulah
yang menimbulkan kesetiaan dalam menantikannya dan harapan bahwa ia akan
sungguh datang dan hadir. Semoga!!! (Dimuat di Galamedia)