Minggu, 22 April 2012

Dari Bandros hingga BBM


Dari Bandros hingga BBM
Awan William
Bandros,bandros, bandros….tukang bandros selalu menyuarakan dagangannya dengan nada setengah berat dan kadang tak jelas di dengar hingga terkubur bising kendaraan atau suara speaker para penghuni syamsi….aku setengah insyap setelah sadar sore itu mang bandros hadir. Perut memberi sinyal lapar ke pusat syaraf. Hingga otak meresponya dengan mebuatku tak mampu berlama tidur. Setengah lari ku buru- buru mebuka pintu, mang bnadros seolah tau petanda basaha tubuh seseoorang yang sedang keroncongan sore itu. Dia juga menatap ke arah pintu yang cukup kuat ku buka, suara engsel yang tak bernada enak mengagetkannya.
Tatapannya sama sekali samar ku lihat. Wajah tirus yang mungil itu, hampir seluruhnya tertutup topi lusuh yang agak besar untuk ukuran kepalnya. Hanya dengan kumis yang agak tebal serta senyum yang sedikit simpul pada setiap pembeli yang menjadi siri khas si mang. Aku menacari lembaran uang kecil di saku celana yang menempel di paku persis sebelah kanan kasusrku. Ku buka dompet, dan yang terlihat selembar uang kertas berwarna biru nominal 50.000, dan satu lagi uang pecahan 20.000 ribu yang melilit di tengah dompetku. Kembali ku tutup dompet, mencari pecahan kecil uang ribuan, karena sadar jika aku menyimpan beberapa ribuan di saku depan. 4 ribu rupiah ku bawa, dengan dua receh silver 500 an. Serta ku cari celana training ku, karena tidur siang ini hanya dengan celana kolor saja. Aku mendekati si mang, suara adonan yang meletup – letup seolah pertanda siap dihidangkan. Di pojok yang berlainan, 5-10 biji bandros tergelatak dingin, sisa adonan yang tak terbeli oleh orang. “ di makan di sini?” sautnya langsung bertanya… “ iya, pak” jawabku dengan nada ba’da tidur…dia buka tutup adonannya, asapp langsung berhamburan bubar ke atas, adonan pun berhenti meletup- letup..dia pilih, adona yang paling matang. Dengan besi kurus melengkung menyerupai lilitan ular yang sering dilihat di apotik.  
Dia siapkan Koran yang terpotong selayak kubus. Dia asingkan enam buah bandros yang menggasap. “ pakai saos atau gula” dia menawarkan. “Campur pak” pintaku… hanya semenjak di bandung saja, aku tahu jika bandrospun biasa dihidangkan bersama gula. Semenjak itu, aku yang cukup doyan dengan makanan manis, jadi sedikit bergairah menikmati bandros setiap si mang nongol ke syamsi.
Pas sekali momentumya, perutku yang sedang lapar dengan kedatangan si mang. “ med..med…med, bandros“ aku memanggil memed. Dia sedang asyik dengan music Jepangnya di kamar. Dia memyaut dua kali namun tak ada respon lanjutan. Dia keluar, tumben dia telihat rapi dengan kemeja hitam di sore hari. Dia mengambil dua bandrosku, lalu melangkah lagi menuju ke luar gerbang syamsi. “ dua ja mang” dia menoleh kearahku..”oke”.
Aku duduk diantara dua box tanggungan si mang, setengah meneonjorkan kaki, celana ku serupa  bukit  biru dongker.  Mang bandros mebuka box tempat kompor. Sedikit mengecilkan api adonannya, menariknya ke bawah, namun agak kesusahan ada karat pada alat pengontrol apinya. Dia gunakan alat pencukil bandrosnya. Agak heran melihat kompornya. Mngingat tahun 2010 lalu sejarah berubah, minyak tanah menjadi barang yang langka. Semenjak kebijakan pemerintah meng-konversinya ke LPG.  Hingga tak heran jika mayoritas pedangang kaki ,lima sekarang selalu disertai benda bulat hijau di bagian belakang rodanya. Gas ukuran 3 kilogram itu menjadi bahan bakar baru bagi para pedangan yang menghidangkan produknya dengan memasak terlebiih dahulu. Tukang cilok, batagor, cireng, dan berbagai penjual makanan lain.
“Berapa liter pak sehari, minyak tanahnya?” Tanya, dengan nada penasaran
Dia menjawab disertai senyum,, “ 1 liter ja A” cukup mengagetkanku, dari tengah hari sampai menjelang maghrib, satu liter bisa mneghidangkan puluhan atau mungki ratusan bandros jika si mang sedang beruntung. “Berapa sekarang per liternya?”  “ 11 ribu” dia menjawab dengan segera. Sedikti mnaggetkan, harga minyak tanah zaman ini, luar biasa. Seingatku dulu, ketika kebanykan warung masih menjajakannya, harganya 2.700 ja. Aku masih ingat kala sore-sore ibu menyurh membeli minyak tanah untuk kompor yang sedang dipakai masak. Bi Sukanah, salah satu penjual minyak tanah termurah di desaku. Dia yang menjadi langganan setiap minyak tanah yang dibutuhkan orang-orang. Tak heran jika wanita paruh baya itu selalu mendapat distribusi lebih dari agen minyak tanah.
Dia kemabli ternsenyum, entah apa yang ada dibalik senyumnya..”entah mungkin, beberapa hari kedepan harganya akan naik lagi A, apalagi pemerintah berenacan menaikan harga BBM bulan depan” senyumnya memebrikan penanda ironis..aku terhentak, selayak aku terbangunkan dengan suara bernada tinggi. Bandros di tanganku, seolah menjadi masam. Gula seolah tak berasa, saus ini menjadi kecut. Tentu saja, kenaikan BBM ini, akan menjadi sebuah efek domino. Harga – arga akan melambung lebih tinggi, meninggikan angka kemiskiana  Indonesia. Meninggikan harga sembako yang akan semakin tak terjangkau para “mustad affin”. Mungkin pula pergeseran status social. Kaum mengenah masyarakat bertitel baru yang lebih rendah, ketika beras sudah tak terjangkau uang mereka. Makanan utama juga dikonversi ke umbi.  Ataupun para peng-konsumsi aking akan lebih banyak dari sebelumnya. Gizi buruk merebak, angka kematian karna lapar meninggi. Dan karna lapar pula, perut kadang menengelamkan iman dan logika, hingga kriminalitas menjadi jalan terkahir demi perut.
Aku tak tahu apakah kebijakan ini demi rakyat pula. Yang pasti rakyat pasti akan menyuarakan nada nengative perihal rencana itu. Demonstrasi mahasiswa tentunya akan mejadi pemndangan biasa lagi. Jalan- jalan akan kembali dipenuhi teriakan- teriakan yang bernada kritis pada pemerintahan SBY-Budiono ini. mungkin sekarang wacana itu masih menjadi topic panas di kalanagan politisi DPR sana. Apakah akan disepakati atau enggaknya tergantung dari pada suara bersama para punggawa pembawa suara rkayat itu. Entah logika mana yang dipakai pemerintah. rakayat kecil tak muluk dengan mimpi mereka, cukup dengan sandang, pangan dan papan yang terpenuhi, merekapun akan menebarkan senyum riang pada pemerintah. Indikator yang sebnarnya sangat sederhana bagi logika, namun berat bagi mereka yang terlalu pintar dengan teori. 
“entah apa yang bisa emang laukann jika harga minyak ini meninggi, mungkin emang pulang ke Garut,  menjadi kuli serabutan ja di sana”. Suaranya sedikit terpatah-patah

Menelanjangi puisi NIra dan Alin


Dari Puisi “Rindu” Nira Hingga Larik Religius Ala Alin
Oleh
Awan William
Prolog
Ketika ditawari untuk berkomentar tentang 2 puisi karya dua dara ini, kegugupanlah yang pertama saya rasakan. Karena hal ini merupakan kali pertama untuk saya mencoba menelaah karya (puisi) kontemporer. Mengingat di jurusan, kita malah seringnya disuguhi karya-karya dunia yang bisa dibilang tua (canonic). Sebuah penjejalan yang membuat paradigma kita selalu berkiblat pada karya barat, yang kadang lupa untuk berpijak pada karya local. Sedikit ironis, yang kadang terdengar sedikit menggelitik karena seolah berpikir  Barat, serta bangga dengan karya Barat, namun malah membelakangi karya yang menjadi identitas kebangsaan kita.
Saya teringat sang paus sastra, H.B Jassin,, “pelajarilah sastra dunia (Barat) untuk memahami sastra lokal” dia berujar seakan berfikir visioner, bahwa memang kebanyakan para apresiator, kritikus, dan akademisi sastra seolah  bangga dengan gaya sastra barat-nya, namun miskin pemahaman tentang sastra lokalnya. Paling idak gejala ke arah sana, sedikit banyaknya sudah mulai terlihat di arena kampus kita (UIN), khususnya jurusan yang mengkaji kesusatraan. Oleh karena itu, ketika ada dua sajak karya dua dara UIN ini, ternyata celah apresiasi karya kita masih ada.  Terlebih, paling tidak dua peyair ini seolah mengkampanyekan eksistensi wanita dalam dunia kepenyairan yang masih sepi di jamah kaum hawa.
Dalam dunia virtual jejaring social, lelaki masih meraja dalam mengungkapkan kebebasan berekpresinya. Mereka seolah berlomba “meng-ada” dengan ramai- ramai mengungkapkan keindahan, kepedihan, sampai kegalauan mereka  melaui grup- grup yang biasa mem-postingkan karya sastra (baca: puisi). Namun, dengan mulainya bermunculan para penyair (penulis) perempuan di UIN, diharapkan setidaknya memberikan bibit minat pada bakat-bakat terpendam para penulis perempuan lainnya di kampus ini. “kita tidak menulis dan membaca puisi karena hal itu manis, tapi kita membaca dan menulis puisi karena kita merupakan bagian dari ras manusia, sebab manusia itu dipenuhi dengan gairah” begitulah kata Keating dalam “The Dead Poet Society”.
Nada Sendu Puisi Nira
Sebuah puisi memang tak ayal merupakan sebuah ekspresi yang muncul spontan dari sang penyair sebagai reaksi dari setiap gejala yang dialaminya, atau Wordsworth menyebutnya sebagai spontaneous overflow of powerful feeling. Perasaan spontan yang berisi kepadatan makna- makna yang perlu penafsiran pembacanya. Namun sebuah puisi terkadang memberikan ruang abu- abu yang berisi ambiguitas makna, Yang menurut Rifaterre (1978: 2) hal tersebut disebabkan karena penggunaan bahasa yang memiliki arti ganda (polyinterpretable). Kegandaan itu bisa berupa arti sebuah kata, frase ataupun kalimat dalam sebuah puisi. Terlepas dari itu, cara penggunaan bahasa figuratif pada sebuah puisipun nyatanya memiliki andil dalam memberikan pemaknaan yang optimal bagi pembacanya. Terutama metafore yang digunakan seorang penyair untuk membangkitkan suasana yang dibangun dalam puisinya.   
Sajak Nira yang satu ini memberi penekanan pada emosi yang kuat sebagai sumber dari pengalaman estetika, memberikan tekanan baru terhadap emosi-emosi seperti perasaan yang timbul  ketika seseorang menghadapi yang sublim dari alam. Suasana romantic yang dibangun sang penyair sudah dimulai dari diksi- diksi yang dijadikan judul sajak ini. “Di antara gerimis Rindu” sebuah ekpresi rasa dari si aku lirik  yang di kombinasikan dengan keadaan alam yang “gerimis”. Proses penggunaan metafore yang memberikan kesan hiperbolik terhadap rasa rindu si aku lirik.
 Selain terlihat dari judul yang disajikan, paling tidak kerinduanlah yang menjadi tema utama pada karya Nira yang satu ini. ada kurang lebih 4 kata rindu yang disajikannya, kata “rindu” hadir pada setiap bait puisinya, terlebih penekanan tema kerinduan itu ditonjolkan pada akhir baris sajaknya ini. “ Rindu kau seperti gerimis”. Suatu tema yang diangkat ke permukaan, sebagai kesan tentang bagaimana rindu yang kuat menggelayut di benak si aku lirik. Sebuah abstraksi rindu yang dijelmakan oleh nira. Rindu menjadi sosok nyata yang dijumpai oleh si aku lirik.  Rindu mempunyai ekspresi, dan berprilaku layaknya sesosok manusia (lelaki). Bahkan si Aku lirik, menyapa si rindu nya langsung, “ Hey Rindu aku di sini” sebuah sapa namun, hanya berisi kekosongan atas ekpektasi terhadap balasan dari sang “rindu” itu.
Selain itu, awal bait puisi Nira dimulai dengan sebuah bayangan masa lalu yang seolah mengendap di benak si Aku lirik. Momen di masa lalu, yang terbawa pada kehidupan yang dijalaninya sekarang. Kata “ tadi, kemarin, dan silam” yang dituangkan pada beberapa baitnya, merupakan penanda bahwa si aku lirik memang selalu terikat pada kejadian masa lalunya.
Sebuah peritiwa yang memberikan nada sendu pada puisinya. seolah sebuah elegy yang dirasakan oleh si aku lirik dalam menggapai perasaannya pada sosok si “rindu”. Namun nada sendu itupun tak hanya milik si aku lirik saja, sang rindu pun dinarasikan pada bait pertama dengan nada yang serupa. “Meski akhirnya ia berjalan ditemani sepi”, kata  ia” tentu saja  mengacu pada satu- satunya tokoh kedua “rindu” karena tak ada referen lagi yang diacu oleh Nira pada puisi ini. selain itu di bait ketiga, kembali Nira memberikan gambaran sendu itu pada si aku lirik, atas perasaan putus asanya terhadap sikap si Rindu, meskipun si aku lirik telah berusaha, bersusah payah untuk sekedar mencari perhatian si “rindu” itu, “Aku yang terhimpit di antara jejal, mencoba mencari celah untuk menatapnya”, namun hanya sebuah kekecewaan yang didapat oleh si aku lirik ini “Walau rasanya tak mungkin ia dengar suara hati yang sunyi”  

Dalam mencari makna yang terkadung dalam puisi, terdapat sign (petanda) yang berperan sebagai clue dalam membantu penafsiran pembacanya (Teeuw : 1983). Di sini tanda- tanda itu diperankan dengan diksi- diksi yang dipilih oleh pengarangnya dalam mengungkap sebuah tema besar yang diusung. Walaupun kecenderungan Nira yang lebih memilih bahasa sehari – hari dalam mem-puisikan perasaannya. Diksi- diksi seperti “ melihat, sunyi, keramaian, dan gerimis” adalah diksi- diksi yang lumrah kita pakai dan dengar dalam kehidupan sehari-hari. Sehingga penafsiran yang munculpun tak akan cenderung beragam, bahkan mungkin untuk beberapa pembacanya, dengan satu kali baca akan langsung mendapatkan makna yang diselipkan sang penyair. Berbeda dengan puisi- puisi yang cenderung lebih “liar” dan seenaknya dalam memakai diksi yang bisa membuat pembacanya tersesat dalam dunia bahasa sang penyair. Seperti pada puisi-puisi mantranya Sutardji Calzoum Bahri, yang menurut terminologi Rifaterre disebut dengan nonsense, karena kata- kata yang digunakannya  secara linguistic tidak mempunyai arti sebab hanya berupa rangkaian bunyi, tidak terdapat dalam kamus dan cenderung hanya berisi kekosongan saja (Pradopo: 2009).
Namun terlalu total dalam menggunakan bahasa sederhanapun malah terkesan mengabaikan nilai estetis dalam puisi ini. karena bagaimanapun kekuatan puisi itu tetap dibangun oleh kata- kata yang dipilih pengarang. Kata-kata yang sepatutnya bisa membangunkan bulu kuduk sang pembacanya, begitulah Acep Zamzam Noor berteori tentang puisi yang bagus.
Pesan spiritual Puisi Alin

Dalam sajak “kulihat ada tuhan di matamu” Alin seolah mengajak pembacanya untuk memikirkan kembali hubungan manusia dengan manusia, serta manusia dengan tuhannya.  Sajak yang sepertinya agak menjurus pada sifat transcendental kalau meminjam istilah Kuntowijoyo.  Ada  kehadiran tuhan dalam sajak ini. hampir sama dengan sajak Nira, di sini ada sosok “kau” yang dicitrakan sebagai sosok yang begitu berpengaruh pada kehidupan si aku lirik. Sebuah kehadiran yang memberikan perubahan pada kehidupan. Yang menarik, deskripsi narasi yang disajikan alin tentang sosok “kau” ini seolah akrab dengan si aku lirik. Seperti pada bait ke 3 pada sajaknya ini “ kita berbicara kepada embun, matahari yang hampir tenggelam dan pepohonan yang mulai merunduk”  kata “ kita” merupakan  kata ganti orang pertama jamak; aku dan engkau (sekalian); yang  mengacu pada sosok aku lirik dan si “kau” yang berhubungan langsung dengan sosok ketiga (tuhan)di sajak ini.

Namun, pada sajak ini pula kita dihidangkan sebuah deskripsi yang hampir mirip dengan nuansa sendu puisinya Nira. Sebuah gambaran tentang kesedihan yang rasakan si aku lirik dengan si kau pada puisi ini. Di baris ke 2 dan 3, kesenduan itu digambarkan Alin dengan kata- kata seperti “sudut senja yang dingin” senja yang diasosiasikan sebagai penghujung siang menuju malam, ditammbah dengan keadaannya yang dingin, mengindikasikan bahwa adanya sebuah keresahan, ketakutan, serta ketidak nyamanan dalam menghadapi malam yang tentunya gelap, ditambah dengan keadaan matahari yang mulai ditelan langit barat, dan pepohonanpun merasakan kesenduan yang serupa, “matahari yang hampir tenggelam dan pepohonan yang mulai merunduk”.
 Dalam baris ke-5 lagi, lagi pembaca akan diajak berkunjung pada imaji masa lalu si aku lirik. Membayangkan tentang sosok ayah ibunya. Di sini ada kata” kami” yang tentunya mengacu pada si “aku” dan “kau”, yang berada di posisi sebagai anak dari kedua orang tuanya, “Lalu tentang kami, anak yang dahulu diimpi-impikan itu”. Sebuah harapan yang disematkan pada anak- anaknya, namun alin menggambarkan sebuah kekecawaan yang nampak pada orang tuanyan si aku lirik. Sebuah kekecewaan yang alin menggunakan kata “kelabu” dan “jauh” pada puisinya ini. harapan yang saat ini seolah memang jauh dari yang dibayangkan orangtuanya dulu “Lalu tentang hari ini saat semua begitu kelabu dan jauh”.
Yang menarik ada pada judul yang sekaligus menjadi point inti dalam puisi ini. seolah tuhan “menjelmakan” diri pada sesosok manusia, “Kulihat ada tuhan di matanya” tuhan yang notebene merupakan wujud yang di luar nalar manusia di terlihat oleh si aku lirik pada orang ketiga, terbukti Alin menggunakan prase “matanya”. Di sini nampaknya bukan secara literal tuhan hadir menjelmakan diri, namun nampaknya lebih pada kecenderungan sifat- sifat tuhan juga yang dimiliki oleh manusia. Karena jika mengacu pada suatu teori kepribadian, manusia itu memang hidupnya mempunyai dua kecenderungan atau arah perkembangan, yaitu takwa (baik/ketuhanan),dan sifat negatif “evil side” (syamsyul Yusuf & Juntika Nurihsan: 2007).
Dua kutub kekuatan yang saling mempengaruhi dalam bertindak. Kutub pertama mendorong manusia untuk berprilaku normatif( merujuk pada nilai- nilai kebenaran), sedangkan kutub kedua mendorong manusia untuk lebih mengutamakan prilaku impulsifnya (dorongan naluriah, instinktif, dan hawa nafsu). Dengan demikian manusia akan selalu dihadapkan pada konflik antara benar dan salah, antara sifat ke-tuhanan dan ke-syetanan.dari sinilah alin seolah memberi gambaran tentang nuansa religious puisinya. Terlebih dengan adanya kata “Tuhan serta “doa” yang seolah membawa kita kepada kesadaran sesungguhnya sebagai mahluk bertuhan dan doalah yang menjadikan jalan menuju kedekatan mahluknya dengan tuhan. Alin mengajak pembacanya tanpa terkecuali untuk tetap konsisten berada di rel yang benar “Kami, Kita, Semua, Untuk terus berbuat baik” Alin melukiskannya dengan menggunakan semua kata ganti orang yang dimulai dari kami, kita dan semua.
 Kemudian di baris akhir, Alin memberi penekanan bahwa memang manusia kadang lupa memposisikan dirinya sebagai mahluk yang bertuhan, sebuah sifat yang alin secara gamblang menyebutnya sifat tidak tahu diri dan lupa untuk kita mengucap syukur. Secara keseluruhan larik. Alin nampaknya lebih memberikan intensinya pada penanaman nilai- nilai spiritual. Bukan berarti melupakan nilai estetis puisinya, namun ranah kedalaman maknalah yang menjadi kekuatan utama puisinya, yang tidak hanya sekedar mementingkan diksi yang kering pesan.



Namun sayangnya, pada kata “kau” dan “kita” pada baris ke-1 dan ke-3 saya seolah bingung melacak acuannya kemana. “Kau” sebagai kata ganti orang kedua seolah mengindikasikan pada sosok tuhan, kemudian pada baris ke-3 kata “kita” langsung hadir, sehingga acuan pembaca akan langsung menuju pada sosok “kau”. Namun di baris selanjutnya ada kata “kami”, yang semakin membuat tidak jelas acuannya kemana, apakah Tuhan termasuk di dalamnya atau tidak, sehingga dalam menafsirkannya otomatis ada sedikit kebingungan yang terjadi ketika pembaca mengimajinasikan setiap baris lariknya.
Dari dua puisi ini, paling tidak ada nada yang sama yang disuarakan oleh dua penyair ini. nada sendulah yang menjadi tema besar yang diusung. Nira mengusung tema sendu rindunya dengan menjelmakannya sosok “rindu” seolah menjadi manusia, kemudian Alin menjelmakan tuhannya yang seolah hadir di dalam sosok mahluknya (manusia). Nira dengan gaya deskripsinya yang cenderung lebih naratif, sementara Alin lebih memilih gaya deskripsi yang lebih hemat dalam menyajikan lariknya, namun keduanya sama-sama disokong kekuatan perasaan kewanitaan mereka yang peka.








Di antara Gerimis Rindu
“Tadi pagi, cerita mimpi mengalirkan suasana serupa dengan pesan kemarin. Di sana ada aku dan keramaian. Lalu, entah dengan alasan apa rindu hadir merubah peranan. Dalam pentas penuh warna, aku melihat rindu berharap besar pada nyata yang tersekat jarak. Meski akhirnya ia berjalan ditemani sepi.
Aku yang terhimpit di antara jejal, mencoba mencari celah untuk menatapnya. Ku lihat ia sangat apik memainkan diri. Sampai gelisah pun tak tersirat di wajahnya.“Hey rindu, aku disini!” ucapku. Walau rasanya tak mungkin ia dengar suara hati yang sunyi.
Tiba tiba aku terperanjak membuyarkan alur cerita dan kedipan terakhir mata menyadarkan aku akan keberadaan sang maya. Kuraih teman kecil yang biasa ku genggam dan aku menemukan pesan rindu menyapa. Aku terdiam sejenak. Pikirku kemudian terbang menerawang untaian kasih silam.
“rindu, engkau serupa gerimis!”
Nirra Cahaya Pertama



Kulihat Ada Tuhan di Matanya

“Semua tak pernah berubah hingga kau berbicara kepadaku
Di sudut senja yang dingin di halaman itu
Kita berbicara kepada embun, matahari yang hampir tenggelam dan pepohonan yang mulai merunduk
Cerita dahulu, tentang Ayah dan Ibu
Lalu tentang kami, anak yang dahulu diimpi-impikan itu
Lalu tentang hari ini saat semua begitu kelabu dan jauh
Sampai. Kulihat ada tuhan di matanya
Dan sejenak, kucium senja dan berdo'a
Agar ia terus diberi kekuatan itu
Kami
Kita
Semua
Untuk terus berbuat baik
Layaknya tuhan yang telah memberikan nafasnya kepada kita yang tak tahu terima kasih ini”

Alin Imani

Monolog Si Malin


MONOLOG SI MALIN  
Awan William*
Ah aneh, aku tak merasa seperti di rumah sendiri. Celetuk Malin. Aku lahir di sini, namun Emak entah kenapa seolah tak ingin mengurusiku dengan baik lagi. Emak punya sikap sendiri. Emak tak mau aku membangkang. Karena membangkang berarti aku siap dimusuhi.  Katanya sudah 10 tahun Emak tak punya anak yang semembangkang aku. Kakakku yang dulu, selalu berteriak, memakai megafon sambil naik di atas meja menghadap ke depan rumah. Suaranya membuat Emak kalang kabut, kakak memakai dasi, berlagak laiknya seorang ketua. Aku melihat potretnya, dia arahkan telunjuknya ke depan. Ah, emak tak lupa dengan kakakku itu, dia sekarang jadi guru bahasa Inggris sempat dia tandang ke rumah kemarin-kemarin, Emak  tergagap salah tingkah.  
Kakakku luar biasa, dia pernah menjadi murid paling beken se-sekolah. Dia disanjung, dia dipuja. Dia menjadi siswa paling hebat, hingga ketika kelulusan dia berpidato di atas podium. Dia hebat, dia berani. Ketika acara perpisahan itu, tiba-tiba  kakak melihat gerombol orang berdemo, penuh amarah, berteriak-teriak kepada pak kepala sekolah. Kakak diajak mereka, kakakpun turun, kaka berorasi, kaka berteriak lantang, suaranya menggelegar menjelma gema, mengguncang sekolah khususnya rumah Emak. Kakak melepas topi berlambang sekolahnya. Dia injak topi itu di depan pak kepala sekolah, diguyur bensin dan byur, api merah membumbung tinggi sekejap melahap topi pesta itu.  Tapi, kakak kurang beruntung, ada si juru berita di sana, gambar si kakak paginya nampang di koran, menjadi headline. Ah sial, kakak dipanggil pak kepala sekolah.
 Dia diberi hadiah, surat untuk Emak. Emak tahu. Emak marah besar. Emakpun kalap. Kakak langsung diusirnya dari rumah, padahal kakak sosok yang bagus buat adik-adiknya. Dia kakak yang memberi kami inspirasi, dia yang mengajar kami menulis dan membaca dengan baik. Aku masih menyimpan tulisannya, tulisannya tajam, dan salah satu korbannya seniman asal Cirebon itu. Aku semakin bangga pada kakakku itu. Entah kenapa Emak tak suka dengan kakak. Kata Emak, kakakku itu pembangkang, dia selalu melawan. Aku tak percaya dengan celoteh Emak, dia hanya Emak yang ingin anaknya duduk manis di rumah, mendengarnya ceramah, lalu Emak akan kasih mereka rupiah.
Adik-adikku memang “baik”. Mereka tak ingin membuat Emak marah. Mereka si penurut. Setiap kali aku mengajak mereka berbincang, mereka tak mau. Mereka hanya ingin jika aku dan mereka berbincang di rumah dilihat emak, supaya bisa dapat uang jajan, katanya. Ah, gak rame, makanya aku tak betah di rumah. Aku main ke tetangga. Di sana aku terasa meraja. Aku disambut bak anak mereka. Setiap kamis ata jum’at aku bermain di sana, aku bisa bebas bermain, berbincang dengan mereka, membaca puisi, menonton film. Ibu mereka sungguh baik, katanya aku harus setiap minggu bertandang, ibu itu akan siapkan potret besar tentangku, dia akan memberi ruang untukku berkarya dan menulis. Aku menulis. Karena bagiku menulis bak “masturbasi”, mengeluarkan semua hasrat diri, melalui imaji dan fantasi. Dan tulisanlah yang jadi anak kreatifitasku itu. Tak berkarya berarti  mati berdiri, tak mau jika hanya ada tulisan di nisan nanti.
Entah sampai kapan rumah menjadi begitu asing buatku. Aku hanya anak yang sepertinya salah asuh. Atau mungkin aku sebenarnya bukan anak Emak? Atau jangan-jangan aku anak yang tertukar? (seperti judul sinetron). Aku lahir di rumah ini, tapi jasadku tak seperti adik-adikku. Aku memang serupa kakakku yang lahir 10 tahun dulu. Makanya aku selalu dekat dengan mereka, meminta saran. Wejangan mereka menjadi celoteh asyik pengantar berkarya.  Yah mungkin suatu nanti aku kan disumpahi Emak, aku kan membatu. Tapi Emak takkan kuasa membatukan jiwa dan karyaku.
Oh, iya kemarin aku punya teman baru, Wiro namanya. Dia ku kukenalkan pada Bacon juga. Celoteh wiro yang intinya sama denganku, diapun merasa asing di rumah. Mimpi sebelum turun gunungnya tak serupa dengan apa yang dia bayangkan, karena itu dia gemar bernyanyi Peterpan “Khayalan Tingkat Tinggi” itu. Baconpun mengamininya, kita asing di rumah. Itulah kenapa aku, Wiro, dan Bacon selalu bersuara keras. Meneriakan semua keanehan ini. Tapi rumah tetap rumah, dia buta dan tuli nampaknya.  Sekeras apapun suara, tetap hanya akan jadi angin lalu. Sekeras Bacon yang doyan nyanyi Jessie J “It’s not about the money,money,money//we don’t need your money,money,money// we just wanna make the world dance”   ya, kita hanya ingin rumah bergoyang saja, menggoyangkan semua gairah yang ada. Bukan rumah yang terus pasif, tak berkelamin.