Dari
Puisi “Rindu” Nira Hingga Larik Religius Ala Alin
Oleh
Awan William
Prolog
Ketika ditawari untuk
berkomentar tentang 2 puisi karya dua dara ini, kegugupanlah yang pertama saya
rasakan. Karena hal ini merupakan kali pertama untuk saya mencoba menelaah karya
(puisi) kontemporer. Mengingat di jurusan, kita malah seringnya disuguhi
karya-karya dunia yang bisa dibilang tua (canonic). Sebuah penjejalan yang
membuat paradigma kita selalu berkiblat pada karya barat, yang kadang lupa
untuk berpijak pada karya local. Sedikit ironis, yang kadang terdengar sedikit
menggelitik karena seolah berpikir Barat, serta bangga dengan karya Barat, namun
malah membelakangi karya yang menjadi identitas kebangsaan kita.
Saya teringat sang paus
sastra, H.B Jassin,, “pelajarilah sastra dunia (Barat) untuk memahami sastra
lokal” dia berujar seakan berfikir visioner, bahwa memang kebanyakan para
apresiator, kritikus, dan akademisi sastra seolah bangga dengan gaya sastra barat-nya, namun
miskin pemahaman tentang sastra lokalnya. Paling idak gejala ke arah sana,
sedikit banyaknya sudah mulai terlihat di arena kampus kita (UIN), khususnya
jurusan yang mengkaji kesusatraan. Oleh karena itu, ketika ada dua sajak karya
dua dara UIN ini, ternyata celah apresiasi karya kita masih ada. Terlebih, paling tidak dua peyair ini seolah
mengkampanyekan eksistensi wanita dalam dunia kepenyairan yang masih sepi di
jamah kaum hawa.
Dalam dunia virtual jejaring
social, lelaki masih meraja dalam mengungkapkan kebebasan berekpresinya. Mereka
seolah berlomba “meng-ada” dengan ramai- ramai mengungkapkan keindahan,
kepedihan, sampai kegalauan mereka
melaui grup- grup yang biasa mem-postingkan karya sastra (baca: puisi).
Namun, dengan mulainya bermunculan para penyair (penulis) perempuan di UIN,
diharapkan setidaknya memberikan bibit minat pada bakat-bakat terpendam para
penulis perempuan lainnya di kampus ini. “kita
tidak menulis dan membaca puisi karena hal itu manis, tapi kita membaca dan
menulis puisi karena kita merupakan bagian dari ras manusia, sebab manusia itu
dipenuhi dengan gairah” begitulah kata Keating dalam “The Dead Poet
Society”.
Nada
Sendu Puisi Nira
Sebuah puisi memang tak ayal
merupakan sebuah ekspresi yang muncul spontan dari sang penyair sebagai reaksi
dari setiap gejala yang dialaminya, atau Wordsworth menyebutnya sebagai spontaneous overflow of powerful feeling. Perasaan
spontan yang berisi kepadatan makna-
makna yang perlu penafsiran pembacanya. Namun sebuah puisi terkadang memberikan
ruang abu- abu yang berisi ambiguitas makna, Yang menurut Rifaterre (1978: 2)
hal tersebut disebabkan karena penggunaan bahasa yang memiliki arti ganda
(polyinterpretable). Kegandaan itu bisa berupa arti sebuah kata, frase ataupun
kalimat dalam sebuah puisi. Terlepas dari itu, cara penggunaan bahasa figuratif
pada sebuah puisipun nyatanya memiliki andil dalam memberikan pemaknaan yang
optimal bagi pembacanya. Terutama metafore yang digunakan seorang penyair untuk
membangkitkan suasana yang dibangun dalam puisinya.
Sajak Nira yang satu ini
memberi penekanan pada emosi yang kuat sebagai sumber dari pengalaman estetika,
memberikan tekanan baru terhadap emosi-emosi seperti perasaan yang timbul ketika seseorang menghadapi yang sublim dari
alam. Suasana romantic yang dibangun sang penyair sudah dimulai dari diksi-
diksi yang dijadikan judul sajak ini. “Di antara gerimis Rindu” sebuah ekpresi
rasa dari si aku lirik yang di
kombinasikan dengan keadaan alam yang “gerimis”. Proses penggunaan metafore
yang memberikan kesan hiperbolik terhadap rasa rindu si aku lirik.
Selain terlihat dari judul yang disajikan,
paling tidak kerinduanlah yang menjadi tema utama pada karya Nira yang satu
ini. ada kurang lebih 4 kata rindu yang disajikannya, kata “rindu” hadir pada
setiap bait puisinya, terlebih penekanan tema kerinduan itu ditonjolkan pada
akhir baris sajaknya ini. “ Rindu kau seperti gerimis”. Suatu tema yang
diangkat ke permukaan, sebagai kesan tentang bagaimana rindu yang kuat
menggelayut di benak si aku lirik. Sebuah abstraksi rindu yang dijelmakan oleh
nira. Rindu menjadi sosok nyata yang dijumpai oleh si aku lirik. Rindu mempunyai ekspresi, dan berprilaku
layaknya sesosok manusia (lelaki). Bahkan si Aku lirik, menyapa si rindu nya
langsung, “ Hey Rindu aku di sini” sebuah sapa namun, hanya berisi kekosongan
atas ekpektasi terhadap balasan dari sang “rindu” itu.
Selain itu, awal bait puisi Nira
dimulai dengan sebuah bayangan masa lalu yang seolah mengendap di benak si Aku
lirik. Momen di masa lalu, yang terbawa pada kehidupan yang dijalaninya
sekarang. Kata “ tadi, kemarin, dan silam” yang dituangkan pada beberapa
baitnya, merupakan penanda bahwa si aku lirik memang selalu terikat pada
kejadian masa lalunya.
Sebuah peritiwa yang
memberikan nada sendu pada puisinya. seolah sebuah elegy yang dirasakan oleh si
aku lirik dalam menggapai perasaannya pada sosok si “rindu”. Namun nada sendu
itupun tak hanya milik si aku lirik saja, sang rindu pun dinarasikan pada bait
pertama dengan nada yang serupa. “Meski
akhirnya ia berjalan ditemani sepi”, kata “ia” tentu saja mengacu pada satu- satunya tokoh kedua
“rindu” karena tak ada referen lagi yang diacu oleh Nira pada puisi ini. selain
itu di bait ketiga, kembali Nira memberikan gambaran sendu itu pada si aku
lirik, atas perasaan putus asanya terhadap sikap si Rindu, meskipun si aku
lirik telah berusaha, bersusah payah untuk sekedar mencari perhatian si “rindu”
itu, “Aku yang terhimpit di antara jejal,
mencoba mencari celah untuk menatapnya”, namun hanya sebuah kekecewaan yang
didapat oleh si aku lirik ini “Walau
rasanya tak mungkin ia dengar suara hati yang sunyi”
Dalam mencari makna yang terkadung dalam puisi, terdapat sign (petanda) yang berperan sebagai
clue dalam membantu penafsiran pembacanya (Teeuw : 1983). Di sini tanda- tanda
itu diperankan dengan diksi- diksi yang dipilih oleh pengarangnya dalam
mengungkap sebuah tema besar yang diusung. Walaupun kecenderungan Nira yang
lebih memilih bahasa sehari – hari dalam mem-puisikan perasaannya. Diksi- diksi
seperti “ melihat, sunyi, keramaian, dan gerimis” adalah diksi- diksi yang
lumrah kita pakai dan dengar dalam kehidupan sehari-hari. Sehingga penafsiran
yang munculpun tak akan cenderung beragam, bahkan mungkin untuk beberapa
pembacanya, dengan satu kali baca akan langsung mendapatkan makna yang
diselipkan sang penyair. Berbeda dengan puisi- puisi yang cenderung lebih “liar”
dan seenaknya dalam memakai diksi yang bisa membuat pembacanya tersesat dalam
dunia bahasa sang penyair. Seperti pada puisi-puisi mantranya Sutardji Calzoum
Bahri, yang menurut terminologi Rifaterre disebut dengan nonsense, karena kata-
kata yang digunakannya secara linguistic tidak mempunyai arti
sebab hanya berupa rangkaian bunyi, tidak terdapat dalam kamus dan cenderung
hanya berisi kekosongan saja (Pradopo: 2009).
Namun terlalu total dalam menggunakan bahasa sederhanapun malah terkesan
mengabaikan nilai estetis dalam puisi ini. karena bagaimanapun kekuatan puisi
itu tetap dibangun oleh kata- kata yang dipilih pengarang. Kata-kata yang
sepatutnya bisa membangunkan bulu kuduk sang pembacanya, begitulah Acep Zamzam
Noor berteori tentang puisi yang bagus.
Pesan spiritual Puisi Alin
Dalam
sajak “kulihat ada tuhan di matamu” Alin seolah mengajak pembacanya untuk
memikirkan kembali hubungan manusia dengan manusia, serta manusia dengan
tuhannya. Sajak yang sepertinya agak
menjurus pada sifat transcendental kalau meminjam istilah Kuntowijoyo. Ada
kehadiran tuhan dalam sajak ini. hampir sama dengan sajak Nira, di sini
ada sosok “kau” yang dicitrakan sebagai sosok yang begitu berpengaruh pada
kehidupan si aku lirik. Sebuah kehadiran yang memberikan perubahan pada
kehidupan. Yang menarik, deskripsi narasi yang disajikan alin tentang sosok
“kau” ini seolah akrab dengan si aku lirik. Seperti pada bait ke 3 pada
sajaknya ini “ kita berbicara kepada embun, matahari yang hampir
tenggelam dan pepohonan yang mulai merunduk”
kata “ kita” merupakan kata
ganti orang pertama jamak; aku dan engkau (sekalian); yang mengacu pada sosok aku lirik dan si “kau”
yang berhubungan langsung dengan sosok ketiga (tuhan)di sajak ini.
Namun,
pada sajak ini pula kita dihidangkan sebuah deskripsi yang hampir mirip dengan
nuansa sendu puisinya Nira. Sebuah gambaran tentang kesedihan yang rasakan si
aku lirik dengan si kau pada puisi ini. Di baris ke 2 dan 3, kesenduan itu
digambarkan Alin dengan kata- kata seperti “sudut
senja yang dingin” senja yang diasosiasikan sebagai penghujung siang menuju
malam, ditammbah dengan keadaannya yang dingin, mengindikasikan bahwa adanya
sebuah keresahan, ketakutan, serta ketidak nyamanan dalam menghadapi malam yang
tentunya gelap, ditambah dengan keadaan matahari yang mulai ditelan langit
barat, dan pepohonanpun merasakan kesenduan yang serupa, “matahari yang hampir
tenggelam dan pepohonan yang mulai merunduk”.
Dalam baris ke-5 lagi, lagi
pembaca akan diajak berkunjung pada imaji masa lalu si aku lirik. Membayangkan
tentang sosok ayah ibunya. Di sini ada kata” kami” yang tentunya mengacu pada
si “aku” dan “kau”, yang berada di posisi sebagai anak dari kedua orang tuanya,
“Lalu tentang kami, anak yang dahulu
diimpi-impikan itu”. Sebuah harapan yang disematkan pada anak- anaknya,
namun alin menggambarkan sebuah kekecawaan yang nampak pada orang tuanyan si
aku lirik. Sebuah kekecewaan yang alin menggunakan kata “kelabu” dan “jauh”
pada puisinya ini. harapan yang saat ini seolah memang jauh dari yang
dibayangkan orangtuanya dulu “Lalu
tentang hari ini saat semua begitu kelabu dan jauh”.
Yang menarik ada pada judul yang sekaligus
menjadi point inti dalam puisi ini. seolah tuhan “menjelmakan” diri pada
sesosok manusia, “Kulihat ada tuhan di
matanya” tuhan yang notebene merupakan wujud yang di luar nalar manusia di terlihat
oleh si aku lirik pada orang ketiga, terbukti Alin menggunakan prase “matanya”.
Di sini nampaknya bukan secara literal tuhan hadir menjelmakan diri, namun nampaknya
lebih pada kecenderungan sifat- sifat tuhan juga yang dimiliki oleh manusia.
Karena jika mengacu pada suatu teori kepribadian, manusia itu memang hidupnya
mempunyai dua kecenderungan atau arah perkembangan, yaitu takwa
(baik/ketuhanan),dan sifat negatif “evil side” (syamsyul Yusuf & Juntika
Nurihsan: 2007).
Dua kutub kekuatan yang saling mempengaruhi
dalam bertindak. Kutub pertama mendorong manusia untuk berprilaku normatif(
merujuk pada nilai- nilai kebenaran), sedangkan kutub kedua mendorong manusia
untuk lebih mengutamakan prilaku impulsifnya (dorongan naluriah, instinktif,
dan hawa nafsu). Dengan demikian manusia akan selalu dihadapkan pada konflik
antara benar dan salah, antara sifat ke-tuhanan dan ke-syetanan.dari sinilah
alin seolah memberi gambaran tentang nuansa religious puisinya. Terlebih dengan
adanya kata “Tuhan serta “doa” yang seolah membawa kita kepada kesadaran
sesungguhnya sebagai mahluk bertuhan dan doalah yang menjadikan jalan menuju
kedekatan mahluknya dengan tuhan. Alin mengajak pembacanya tanpa terkecuali
untuk tetap konsisten berada di rel yang benar “Kami, Kita, Semua, Untuk terus berbuat baik” Alin melukiskannya dengan menggunakan semua kata ganti orang yang
dimulai dari kami, kita dan semua.
Kemudian di baris akhir,
Alin memberi penekanan bahwa memang manusia kadang lupa memposisikan dirinya
sebagai mahluk yang bertuhan, sebuah sifat yang alin secara gamblang
menyebutnya sifat tidak tahu diri dan lupa untuk kita mengucap syukur. Secara
keseluruhan larik. Alin nampaknya lebih memberikan intensinya pada penanaman
nilai- nilai spiritual. Bukan berarti melupakan nilai estetis puisinya, namun
ranah kedalaman maknalah yang menjadi kekuatan utama puisinya, yang tidak hanya
sekedar mementingkan diksi yang kering pesan.
Namun
sayangnya, pada kata “kau” dan “kita” pada baris ke-1 dan ke-3 saya seolah
bingung melacak acuannya kemana. “Kau” sebagai kata ganti orang kedua seolah
mengindikasikan pada sosok tuhan, kemudian pada baris ke-3 kata “kita” langsung
hadir, sehingga acuan pembaca akan langsung menuju pada sosok “kau”. Namun di
baris selanjutnya ada kata “kami”, yang semakin membuat tidak jelas acuannya
kemana, apakah Tuhan termasuk di dalamnya atau tidak, sehingga dalam
menafsirkannya otomatis ada sedikit kebingungan yang terjadi ketika pembaca
mengimajinasikan setiap baris lariknya.
Dari dua puisi ini, paling tidak ada nada
yang sama yang disuarakan oleh dua penyair ini. nada sendulah yang menjadi tema
besar yang diusung. Nira mengusung tema sendu rindunya dengan menjelmakannya
sosok “rindu” seolah menjadi manusia, kemudian Alin menjelmakan tuhannya yang
seolah hadir di dalam sosok mahluknya (manusia). Nira dengan gaya deskripsinya
yang cenderung lebih naratif, sementara Alin lebih memilih gaya deskripsi yang
lebih hemat dalam menyajikan lariknya, namun keduanya sama-sama disokong
kekuatan perasaan kewanitaan mereka yang peka.
Di antara Gerimis Rindu
“Tadi pagi, cerita mimpi mengalirkan suasana serupa
dengan pesan kemarin. Di sana ada aku dan keramaian. Lalu, entah dengan alasan
apa rindu hadir merubah peranan. Dalam pentas penuh warna, aku melihat rindu
berharap besar pada nyata yang tersekat jarak. Meski akhirnya ia berjalan
ditemani sepi.
Aku yang terhimpit di antara jejal, mencoba mencari celah
untuk menatapnya. Ku lihat ia sangat apik memainkan diri. Sampai gelisah pun
tak tersirat di wajahnya.“Hey rindu, aku disini!” ucapku. Walau rasanya tak
mungkin ia dengar suara hati yang sunyi.
Tiba tiba aku terperanjak membuyarkan alur cerita dan
kedipan terakhir mata menyadarkan aku akan keberadaan sang maya. Kuraih teman
kecil yang biasa ku genggam dan aku menemukan pesan rindu menyapa. Aku terdiam
sejenak. Pikirku kemudian terbang menerawang untaian kasih silam.
“rindu, engkau serupa gerimis!”
Nirra Cahaya Pertama
Kulihat Ada Tuhan di
Matanya
“Semua tak pernah berubah hingga kau
berbicara kepadaku
Di sudut senja yang dingin di halaman itu
Kita berbicara kepada embun, matahari yang
hampir tenggelam dan pepohonan yang mulai merunduk
Cerita dahulu, tentang Ayah dan Ibu
Lalu tentang kami, anak yang dahulu
diimpi-impikan itu
Lalu tentang hari ini saat semua begitu
kelabu dan jauh
Sampai. Kulihat ada tuhan di matanya
Dan sejenak, kucium senja dan berdo'a
Agar ia terus diberi kekuatan itu
Kami
Kita
Semua
Untuk terus berbuat baik
Layaknya tuhan yang telah memberikan nafasnya
kepada kita yang tak tahu terima kasih ini”
Alin Imani